Pertumbuhan Ekonomi 2023 Akan Ditopang Konsumsi dan Belanja Pemilu
Berdasarkan catatan Mandiri Sekuritas, sejak Pemilu 2004 sampai 2019, setiap 1-2 triwulan sebelum penyelenggaraan pemilu, selalu ada peningkatan konsumsi masyarakat.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan akan dimotori oleh konsumsi masyarakat yang masih kuat dan ditambah suntikan dana belanja menyambut Pemilu 2024. Tingkat konsumsi masyarakat ini ditopang kelanjutan tren konsumsi masyarakat yang masih kuat sejak 2022 dan gelontoran dana pemilu yang bisa merangsang belanja rumah tangga.
Dalam perhitungannya, Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2023 akan didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat yang masih kuat. Hal ini melanjutkan tren tingkat konsumsi masyarakat yang kuat dan stabil sejak 2022.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Perkiraan kami, tahun 2023 akan jadi tahun yang digerakkan konsumsi masyarakat,” ujar Leo dalam acara ”Economic and Market Outlook 2023” yang diselenggarakan Tim Ekonom Mandiri Sekuritas di Jakarta, Selasa (10/1/2023),
Leo menjelaskan, peningkatan konsumsi masyarakat akan terdorong oleh adanya penyelenggaraan pemilu yang akan diselenggarakan di 2024. Berdasarkan catatan Mandiri Sekuritas, sejak Pemilu 2004 sampai 2019, setiap 1-2 triwulan sebelum penyelenggaraan pemilu, selalu ada peningkatan konsumsi masyarakat. Mengingat pemilu kali ini akan diselenggarakan pada triwulan pertama 2024, artinya dorongan pertumbuhan konsumsi karena faktor pemilu akan terjadi pada triwulan ketiga dan keempat 2023.
Dorongan pertumbuhan konsumsi ini dipicu suntikan dana yang besar untuk penyelenggaraan Pemilu. Menurut perhitungannya, akan ada suntikan dana penyelenggaraan pemilu Rp 118,9 triliun hingga Rp 270,3 triliun yang akan beredar di masyarakat. Dana inilah yang akan merangsang belanja di masyarakat.
Perhitungan didasarkan dari total rata-rata belanja pemilu dari 232.770 kandidat yang akan memperebutkan 19.737 kursi jabatan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota di Pemilu 2024.
”Perhitungan kami, penyelenggaraan Pemilu 2024 menginjeksikan dana yang akan beredar di masyarakat sebanyak 0,6-1,3 persen dari produk domestik bruto,” kata Leo.
Adapun sektor-sektor yang akan menikmati pertumbuhan konsumsi karena pemilu, antara lain, sektor makanan dan minuman; media dan komunikasi; serta tekstil dan produk tekstil.
Kendati aspek konsumsi masyarakat akan meningkat, Leo mengatakan, pertumbuhan ekonomi lainnya seperti ekspor dan investasi diperkirakan melambat. Kinerja ekspor diperkirakan akan menurun seiring dengan perlambatan ekonomi global sehingga turut mengurangi permintaan dari negara tujuan ekspor. Harga komoditas energi, yang sepanjang 2022 menjadi penunjang kinerja ekspor Indonesia, juga diperkirakan akan melandai.
Sementara dari aspek investasi, diperkirakan belum akan bertumbuh signifikan. Sebab, ongkos biaya investasi diperkirakan akan meningkat karena tren kenaikan suku bunga, baik di dalam maupun luar negeri yang membuat biaya investasi menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, lanjut Leo, pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan mencapai 4,9 persen, lebih rendah dibandingkan 2022 yang sebesar 5,2 persen.
Pasar modal
Perekonomian Indonesia yang masih bertumbuh itu tetap menarik investor portofolio untuk berinvestasi di Indonesia. Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas Adrian Joezer mengatakan, fundamental ekonomi Indonesia yang kuat memikat investor sehingga mendorong masuknya arus modal (capital inflow) ke dalam sistem keuangan dalam negeri.
Ia memperkirakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan ditutup pada level 7.510. ”Indikator perekonomian Indonesia yang solid dinilai investor memiliki risiko yang rendah dan imbal hasil yang cukup menjanjikan. Inilah yang membuat dana investor kembali ke dalam negeri sehingga mendongkrak IHSG,” tutur Adrian.
Pada kesempatan terpisah, dalam keterangan persnya, Chief Investment Officer DBS Bank Hou Wey Fook mengatakan, di tengah meningkatnya risiko resesi dan kenaikan inflasi dunia, DBS Group Research mengusulkan, penempatan dan strategi investasi sebanyak terdiri dari 60 persen untuk pasar modal dan 40 persen obligasi. Penempatan investasi di obligasi untuk meredam risiko tinggi dari pasar modal. Apalagi saat ini tengah terjadi tren kenaikan suku bunga sehingga investasi obligasi bisa memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.