Indonesia perlu terus mendorong transisi energi untuk mengejar target emisi nol dengan mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Dengan demikian, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat ditekan lebih rendah.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu menghiasi puncak bukit di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki target menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 serta berkomitmen mencapai emisi nol bersih atau net zero emissions sebelum tahun 2070. Hal ini demi mendorong pembangunan rendah karbon menuju ekonomi hijau.
Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) Kuki Soejachmoen menilai, Indonesia perlu terus mendorong transisi energi dengan mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan energi fosil agar emisi tidak terus meningkat.
”Transisi energi ini sangat penting dengan melihat dampak perubahan iklim, sosial, dan ekonomi agar kita dapat mencapai target net zero emissions sebelum 2070. Namun, yang masih sulit adalah kita tidak bisa hidup tanpa energi,” kata Kuki dalam sesi diskusi bertajuk ”Transisi Energy Indonesia, A Game Changer?” yang digelar oleh IRID melalui platform Instagram, Minggu (8/1/2023).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto dalam siaran pers yang disampaikan pada Selasa (25/10/2022), mengatakan, isu krisis energi perlu ditangani tanpa mengorbankan proses transisi energi.
”Transisi energi harus adil, terjangkau, dan dapat diakses masyarakat. Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat dan target itu tidak boleh tergelincir,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia menargetkan penurunan emisi menjadi 31,89 persen dari sebelumnya 29 persen pada 2030 sebagaimana tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
Dalam sesi diskusi yang sama, Co-Founder of Think Policy Afutami berpendapat, transisi energi memerlukan kebijakan yang berkeadilan, seperti aspek ketersediaan energi dan investasi. Transisi energi perlu dilakukan dengan melihat dampak sosial serta ekonomi yang belum banyak disentuh.
Perubahan iklim, sosial, serta ekonomi disebabkan oleh pemanfaatan energi fosil yang menyumbang polusi udara, pencemaran lingkungan, dan defisit neraca perdagangan. Oleh sebab itu, Kuki menilai, Indonesia perlu beralih dari fosil ke bahan pengganti dengan emisi nol.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batubara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen, serta gas bumi 22 persen. Data dari pemerintah menyebutkan, capaian energi baru dan terbarukan sampai akhir 2020 sebesar 11,5 persen. Dengan demikian, peran energi fosil masih amat dominan dalam bauran energi nasional (Kompas.id, 15/3/2021).
Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2019, potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun tanpa intervensi kebijakan pada 2024. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan ketahanan iklim pada empat sektor prioritas, yakni air, kesehatan, kelautan dan perikanan, serta pertanian yang berpotensi menurunkan risiko kehilangan produk domestik bruto hingga 50,4 persen.
”Jika dilihat di tahun 2023 ini, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diperkirakan sekitar 10 persen dari total perekonomian hingga mencapai ratusan triliun rupiah,” ujar ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, saat dihubungi, Minggu (8/1/2023).
Tantangan ke depan
Ekonom menilai, target net zero emissions sebelum 2070 dapat tercapai dengan sejumlah solusi, seperti pensiun dini menggunakan bahan energi fosil serta meningkatkan energi baru terbarukan (EBT) secara signifikan, diiringi dengan kebijakan efisiensi energi.
Akan tetapi, dalam implementasinya masih ditemukan sejumlah tantangan yang akan dihadapi saat ini dan di masa depan, seperti pembiayaan dan kapasitas fiskal negara, risiko aset terdampar (stranded asset), serta daya beli dan kesadaran untuk bertransisi.
”Proses transisi energi itu tidak mudah karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Kemudian pemerintah perlu cermat mengelola aset yang sudah dibangun dan berpotensi terbengkalai akibat perubahan iklim,” tutur Bhima.
Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antara pemerintah dan nonpemerintah, salah satunya masyarakat yang perlu sadar akan transisi energi. Selain itu, tidak hanya antarnegara, koordinasi antarsektor juga diperlukan untuk mencapai target tersebut.