Waspadai Menguatnya Oligarki Ekonomi
Sistem oligarki dikhawatirkan akan mengakar lebih kuat dan mempertajam ketimpangan serta menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah ekonom senior mengingatkan bahaya menguatnya oligarki ekonomi yang dinilai akan lebih menjadi-jadi di tahun politik. Gelagat itu tampak dari dikebutnya pengesahan sejumlah regulasi problematik terkait ekonomi dalam dua tahun terakhir, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Cipta Kerja baru-baru ini.
Di tengah kualitas demokrasi yang semakin menurun, sistem oligarki dikhawatirkan akan mengakar lebih kuat dan mempertajam ketimpangan serta menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Guru Besar Ekonomi Politik di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Didin S Damanhuri, Kamis (5/1/2023), mengatakan, oligarki tumbuh subur dalam ekosistem politik yang tidak demokratis. Melalui koalisi ”super gemuk” yang dibentuk di DPR, praktik kontrol kekuasaan (check and balance) terhadap pemerintah sangat lemah dan memuluskan bekerjanya sistem oligarki.
Baca juga: Otoritarianisme Berbungkus Hukum
Kemunculan sejumlah undang-undang problematik di sektor ekonomi akhir-akhir ini menjadi bukti semakin kuatnya praktik oligarki di tengah kontrol kekuasaan yang melemah itu. Berbagai rancangan regulasi dikebut pemerintah dan DPR dalam waktu cepat serta melanggar prosedur yang seharusnya.
Misalnya, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2022 tentang Cipta Kerja yang akhir tahun lalu dikeluarkan pemerintah untuk menjawab putusan MK.
Ada pula UU lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan kegiatan ekonomi, seperti UU No 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Regulasi ini melemahkan beberapa kewenangan penting lembaga antikorupsi itu, dengan dalih untuk melancarkan masuknya investasi.
Sederet UU tersebut memancing penolakan dari publik dan digugat untuk uji materi ke MK.
”Lahirnya berbagai regulasi ini adalah bukti bekerjanya oligarki karena proses legislasinya mengabaikan lembaga hukum (rule of law), konstitusi, dan partisipasi publik yang sebenarnya dimandatkan oleh UU itu sendiri,” kata Didin dalam diskusi publik Catatan Awal Tahun 2023 oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menghadirkan sejumlah pakar ekonomi senior.
Baca juga: MK Diminta Menunda Keberlakuan Perppu Cipta Kerja
Ia menilai, melihat gejala akhir-akhir ini, terutama di tahun politik, oligarki akan semakin kuat bekerja sebagai sebuah sistem, di mana segelintir aktor memiliki pengaruh dan kekuasaan politik karena kekayaan yang mereka punya, dan sebaliknya, kekayaan itu akan terus terakumulasi akibat posisi dan kontrol politik yang mereka punya.
Kemunculan sejumlah UU problematik di sektor ekonomi akhir-akhir ini menjadi bukti semakin kuatnya praktik oligarki di tengah kontrol kekuasaan yang nyaris nihil.
Ketimpangan
Dampaknya adalah ketimpangan yang menjadi-jadi di masyarakat. Saat ini, ujar Didin, kesenjangan ekonomi serta terpusatnya konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elite di dalam negeri sudah terhitung parah.
Menurut data Credit Suisse, penguasaan aset oleh para aktor oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk Indonesia sudah sangat timpang. Pada tahun 2020, harta 1 persen orang terkaya di Indonesia sama dengan 46,6 persen produk domestik bruto dan harta 10 persen orang terkaya telah mencakup 75 persen PDB.
Indikator lainnya adalah Material Power Index (MPI) yang mengukur kekayaan (material power) yang dimiliki para oligark di lapis teratas dibandingkan masyarakat pada umumnya. Variabel yang digunakan adalah data rata-rata kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sesuai data tahunan Forbes dengan data PDB per kapita yang dirilis Badan Pusat Statistik.
Hasilnya, pada 2014, kekayaan para elite di lapis teratas adalah 678.000 kali lebih banyak dari kekayaan rata-rata masyarakat. Pascapandemi, indeks MPI terus meningkat hingga menyentuh 759.420 kali pada tahun 2020 dan 1.065.000 kali pada tahun 2022. Konsentrasi kekayaan di antara segelintir elite naik lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
”Akumulasi kapital dari pertumbuhan ekonomi selama reformasi terakumulasi oleh kelompok 20 persen terkaya dan korbannya adalah 40 persen penduduk yang paling miskin,” kata Didin.
Melandai
Hal senada dikatakan ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri. Faisal mengatakan, struktur politik yang buruk di bawah pengaruh sistem oligarki itu pun menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lemah dan tidak berkualitas. Mengutip kajian World Development Indicators oleh Bank Dunia pada 2022, tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat Indonesia melandai dibandingkan sejumlah negara berkembang lain di Asia.
Baca juga: Badai yang Sama, Kapal yang Berbeda
”Ekonomi memang tumbuh, tetapi kerdil. Saat ini memang kita sudah pulih dari Covid-19, pertumbuhan ekonomi juga sudah lebih tinggi dari sebelum pandemi, tetapi struktur pemulihannya masih jomplang,” ujarnya.
Faisal menyoroti pengaruh lain dari menguatnya oligarki terhadap daya tahan ekonomi Indonesia. Misalnya, tersendatnya upaya untuk menambah cadangan devisa melalui devisa hasil ekspor (DHE) lantaran saat ini lebih banyak devisa yang diparkir di luar negeri oleh segelintir pengusaha komoditas.
”Ekspor kita yang meningkat pesat itu sebagian besar karena batubara, yang hanya dikuasai oleh belasan grup pengusaha tambang saja, yang lebih banyak menyimpan keuntungan hasil ekspornya di luar negeri. Ini mengapa rupiah tetap lemah padahal ekspor kita lagi kuat-kuatnya,” kata Faisal.
Secara terpisah, menanggapi pro dan kontra diterbitkannya Perppu Cipta Kerja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, langkah itu dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum pada dunia usaha.
Struktur politik yang buruk di bawah pengaruh sistem oligarki itu pun menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lemah dan tidak berkualitas.
”Kalau tidak ada dasar hukum, bagaimana kelanjutan bank tanah? Bagaimana kelanjutan upaya harmonisasi pajak? Bagaimana nasib sovereign wealth fund kita?” katanya.
Ia menambahkan, kritik sudah wajar ditemukan dalam sistem demokrasi. ”Demokrasi kan memang seperti itu, harus ada yang memberi apresiasi, ada yang mengkritik,” ujarnya.