Perppu Cipta Kerja Dianggap Belum Berpihak kepada Pekerja
Kalangan serikat pekerja menilai, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 atau Perppu tentang Cipta Kerja belum memberikan perubahan signifikan yang berpihak kepada pekerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan serikat pekerja menilai, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 atau Perppu tentang Cipta Kerja belum memberikan perubahan signifikan yang berpihak kepada mereka. Proses penyusunan perppu ini juga dianggap kurang konsisten dengan ketentuan yuridis yang sudah ada sebelumnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (1/1/2023), memberikan beberapa contoh materi Perppu No 2/2022 yang dianggap belum memberikan perubahan signifikan yang berpihak kepada pekerja. Terkait upah minimum, misalnya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, formula perhitungan upah minimum menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Sementara dalam Perppu No 2/2022, formulanya mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Sementara pada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, formula perhitungan upah minimum memakai survei kebutuhan hidup layak. Peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, perhitungan upah minimum memakai variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan internasional tidak pernah kenal ”indeks tertentu” dalam menentukan upah minimum.
Masih terkait dengan upah minimum, Pasal 88F Perppu No 2/2022 menyatakan, dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula perhitungan upah minimum yang berbeda. Said menilai, hal ini berpotensi menyebabkan pemerintah bisa seenaknya mengubah-ubah aturan.
”Saat menghadapi kondisi ekonomi yang tak menentu, ada sektor industri yang relatif mampu bertahan dan tidak. Seharusnya ada peraturan bagi perusahaan dari sektor industri tertentu yang tidak mampu bertahan dan dibuktikan dengan laporan keuangan yang merugi, mereka boleh menangguhkan upah minimum,” ujarnya.
Said juga mencontohkan soal alih daya. Baik dalam UU Cipta Kerja maupun Perppu No 2/2022, prinsip alih daya diperbolehkan. Dalam Perppu No 2/2022 juga disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah pun menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam peraturan pemerintah.
”Hal ini semakin menegaskan semua pekerjaan bisa dialihdayakan. Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?” katanya.
Tidak konsisten
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, kehadiran Perppu No 2/2022 merupakan produk hukum yang tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, ketentuan yuridis lain, dan kondisi obyektif di masyarakat. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD.
Pemerintah semestinya menjalankan saja putusan Mahkamah Konstitusi, bukan malah menerbitkan perppu.
Kemudian, Pasal 11 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, materi muatan perppu sama dengan di UU. Pasal 10 UU No 12/2011 menyatakan, salah satu materi muatan UU merupakan tindak lanjut atas putusan MK.
Lebih jauh, kata Timboel, pemerintah semestinya menjalankan saja putusan MK, bukan malah menerbitkan perppu. Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat hanya memasuki sisi formil saja, belum ke materi. Jadi, kebutuhan mendesaknya adalah menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
”Setelah pemerintah dan DPR merevisi UU No 12/2011 dengan memasukkan metode omnibus law, pemerintah seharusnya menindaklanjuti pembahasan materi UU Cipta Kerja dengan melibatkan masyarakat, terutama kelompok pekerja/buruh. Libatkan mereka dalam penyempurnaan UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah (PP) turunannya, seperti PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing dan PP No 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja,” kata Timboel.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi Trisnanti memiliki pandangan senada. Dia menilai, Perppu No 2/2022 sebagai ”kado tahun baru” yang pahit bagi kelompok buruh. Sebab, menurut dia, perppu ini telah menggugurkan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja tidak konstitusional dan cacat hukum.
”Secara organisasi, kami menolak Perppu No 2/2022. Menurut kami, perppu ini jadi penegas pelaksana UU Cipta Kerja sah dilaksanakan. Artinya, materi-materi yang sudah ada dan tidak diubah dari UU Cipta Kerja, seperti sistem kerja fleksibel (alih daya), sudah bisa diterapkan,” ujar Dian.
Menurut rencana, Selasa (3/1/2023), Apindo akan mengadakan jumpa pers menanggapi secara resmi peraturan itu.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, saat dihubungi, mengatakan, internal Apindo masih mempelajari Perppu No 2/2022. Menurut rencana, Selasa (3/1/2023), Apindo akan mengadakan jumpa pers menanggapi secara resmi peraturan itu.
Melalui akun resmi Kementerian Ketenagakerjaan, @Kemnaker, di Instagram, Minggu, sembari mengucapkan selamat Tahun Baru 2023, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga mengatakan, masyarakat baru saja melewati pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari dua tahun. Kini, masyarakat menghadapi ancaman resesi ekonomi global.
”Kondisi itu memengaruhi sosial ekonomi kita. Lebih dari itu menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan hidup kita. Puji syukur kita masih bertahan dan berharap tumbuh dengan kondisi lebih baik,” ujarnya.
Ida menyampaikan, pihaknya mengajak buruh/pekerja bersama pemerintah dan pemangku kepentingan ketenagakerjaan lainnya untuk ikut memulihkan dan menguatkan kondisi sosial ekonomi bangsa.