Tinggal Satu Bank yang Belum Memiliki Rencana Jelas
Otoritas Jasa Keuangan mengatakan, tinggal satu bank yang masih menunggu keputusan pemegang saham dan manajemen terkait pemenuhan modal inti minimum.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang tenggat akhir tahun 2022, masih ada sejumlah bank yang modalnya di bawah Rp 3 triliun, yang merupakan modal inti minimum sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. Kendati demikian, hampir semua bank yang modalnya masih di bawah Rp 3 triliun telah memiliki rencana yang jelas untuk menambah modal. Hanya satu bank yang belum memiliki rencana jelas karena masih menunggu keputusan pemegang saham dan manajemen apakah akan memenuhi persyaratan modal inti minimum atau tidak.
”Hanya satu bank yang saat ini masih kita tunggu hasil keputusan penyelesaiannya,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae yang dihubungi pada Kamis (29/12/2022).
Adapun bank lain yang modalnya masih di bawah Rp 3 triliun telah memiliki rencana jelas. Menurut Dian, ada beberapa bank yang secara administrasi masih menunggu proses penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHTED) atau rights issue. Adapula bank lain sedang dalam penggabungan dengan bank lain atau merger. Namun, Dian enggan membeberkan lebih detail mengenai bank-bank tersebut.
Kendati belum semua bank mematuhi permodalan inti tersebut dan sebagian lainnya masih dalam proses administrasi penambahan modal, Dian mengatakan sangat gembira karena bank-bank itu berupaya untuk mematuhi persyaratan modal inti tersebut.
Ia menambahkan, tahun 2023 akan menjadi awalan baru yang menyegarkan bagi industri perbankan untuk meningkatkan kinerja dengan tambahan permodalan guna menghadapi dinamika pasar. Harapannya, lanjut Dian, penambahan modal ini bisa meningkatkan keyakinan dan persepsi positif perbankan Indonesia di mata pemangku kepentingan domestik dan global.
Terhadap bank-bank yang tidak mampu memenuhi permodalan inti minimum Rp 3 triliun, Dian menegaskan ada tiga opsi yang akan dilakukan OJK. Opsi pertama adalah melakukan merger paksa bank-bank mini. Adapun opsi kedua adalah menurunkan status bank umum tersebut menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan opsi ketiga, yakni yang terburuk, adalah meminta likuidasi bank tersebut secara sukarela.
Peraturan OJK 12/2022 tentang Konsolidasi Bank Umum mewajibkan bank untuk memenuhi modal inti minimal Rp 3 triliun sebelum akhir 2022. Penambahan persyaratan modal inti minimum dilakukan bertahap dan terus meningkat mulai Rp 1 triliun pada akhir 2020 dan Rp 2 triliun pada akhir 2021.
Geliat perbankan
Sebelumnya diberitakan, sejumlah bank mini sudah melakukan aksi korporasi untuk memenuhi ketentuan itu. Bank Aladin Syariah Tbk, misalnya, melaksanakan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu atau private placement.
Corporate Secretary Bank Aladin Syariah Indira Indah, Selasa (20/12/2022), menyatakan, total transaksi private placement ini bernilai Rp 1,19 triliun. Adapun sampai dengan triwulan ketiga 2022, modal inti Bank Aladin Syariah sebesar Rp 2,01 triliun. Dengan private placement itu, modal Bank Aladin Syariah akan bertambah menjadi Rp 3,2 triliun.
Selain itu, ada enam bank yang berhasil memenuhi ketentuan modal inti minimum. Keenam bank itu adalah PT Bank Oke Indonesia Tbk, PT Bank Amar Indonesia Tbk, PT Bank J Trust Indonesia Tbk, PT Bank Capital Indonesia Tbk, PT Bank Neo Commerce Tbk, dan PT Bank Maspion Indonesia Tbk.
Sembilan bank lainnya masih berada dalam proses pemenuhan modal baik melalui right issue maupun private placement. Mereka antara lain adalah Bank Victoria Tbk, Bank Ina Perdana Tbk, Bank Bumi Arta Tbk, Bank MNC Tbk, Bank National Nobu Tbk, dan Bank of India Indonesia Tbk.
Bank Bumi Arta Tbk telah mendapatkan dana segar hasil dari penerbitan right issue sebesar Rp 786 miliar dengan harga pelaksanaan right issue Rp 1.345 per saham.
Sementara Bank Victoria menggelar right issue pada 19-23 Desember. Dari aksi korporasi ini, dana segar yang masuk diharapkan mencapai Rp 743,3 miliar.
Co-Founder dan Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menjelaskan, pihaknya mendukung upaya paksa dari OJK untuk mendorong konsolidasi perbankan melalui peningkatan persyaratan modal inti bank. Sebab, selama ini berbagai upaya tidak pernah benar-benar secara signifikan mengurangi jumlah bank dan berhasil mendorong konsolidasi bank.
Sudah lebih dari 10 tahun terakhir jumlah perbankan di Indonesia terlampau banyak yakni lebih dari 100 entitas. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia jumlah bank memang menurun tiap tahunnya namun tak signifikan. Pada 2019 jumlahnya mencapai 110 bank, 2020 sebanyak 109 bank, 2021 menjadi 107 bank. Hingga data terbaru statistik ini dirilis Agustus 2022, jumlah bank masih 107 unit.
Jumlah ini sangat tidak ideal. Sebab, terdapat ketimpangan skala bisnis dan kapasitas permodalan antara bank besar dan kecil ini. Bank-bank papan atas memiliki aset dan dana kelolaan hingga ribuan triliun rupiah, sementara bank-bank papan bawah hanya memiliki modal inti sekitar Rp 3 triliun.
Aturan penambahan modal inti bagi perbankan ini sejatinya punya semangat untuk mengonsolidasi industri perbankan agar semakin kuat. Hal ini sudah lama dirancang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sejak pengawasan perbankan masih berada di Bank Indonesia hingga saat ini yang sudah beralih ke OJK sejak 2012.
Selain mendorong struktur industri perbankan yang lebih sehat, Piter menjelaskan, penambahan modal inti perbankan ini juga dimaksudkan untuk mempertebal kapasitas bisnis perbankan. Dengan modal inti yang semakin besar, bisa mengurangi risiko serta bisa meningkatkan perlindungan dana nasabah.
”Supaya industri perbankan kita lebih sehat, kompetitif, dan yang terpenting pelayanan serta perlindungan konsumen semakin optimal,” ujar Piter.