Menanti Kepastian Arah Hilirisasi Bauksit
Jangan sampai terjadi, saat sudah waktunya membicarakan teknologi hingga serapan industri paling hilir, Indonesia malah kembali terjebak dalam tarik-ulur kebijakan ekspor.
Pemerintah telah mengumumkan larangan ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Semua pihak sepakat bahwa hal itu adalah amanat undang-undang. Pengolahan dan pemurnian bijih bauksit di dalam negeri bakal meningkatkan nilai tambah. Namun, produksi dan kesiapan smelter pun perlu diselaraskan. Jauh lebih penting ialah kepastian arah hilirisasi ke depan.
Kebijakan aturan ekspor mineral mentah, termasuk bauksit, sejatinya telah diatur sejak 2009, melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam UU disebutkan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP Khusus wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian, selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU tersebut diundangkan (12 Januari 2009). Artinya, pada 12 Januari 2014, ekspor mineral mentah harus sudah berhenti dilakukan. Namun, beberapa bulan menjelang kebijakan diterapkan ketika itu, muncul pro kontra. Pengusaha tidak siap, juga ada potensi dampak sosial jika langsung diterapkan. Pemerintah pun kala itu melunak.
Pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian, selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU tersebut diundangkan (12 Januari 2009). Artinya, pada 12 Januari 2014, ekspor mineral mentah harus sudah berhenti dilakukan.
Berbagai aturan, sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi yang pro maupun kontra pelarangan ekspor pun dikeluarkan. Beberapa bentuk relaksasi diberikan, sehingga penyetopan ekspor mineral mentah seperti tertuang dalam UU Pertambang Minerba belum juga diterapkan. Dalam perkembangannya, relaksasi ini masih diberlakukan, dengan sejumlah syarat.
Misalnya, lewat Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 5/ 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Juga Permen ESDM No 6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Dalam aturan tersebut, pemerintah mengizinkan ekspor mineral mentah jenis nikel dan bauksit dengan syarat tertentu. Syarat itu antara lain ialah kesediaan membangun smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan batas waktu lima tahun dan perubahan kontrak karya menjadi IUP khusus bagi perusahaan yang hendak mengekspor mineral.
Selain itu, ditetapkan penyerapan bijih nikel dan bauksit untuk smelter dalam negeri sedikitnya 30 persen dari kapasitas smelter yang ada sebelum diekspor. (Kompas, 19 Januari 2017)
UU No 4/2009 kemudian diubah dengan UU No 3/2020. Dalam Pasal 170A UU No 3/2020 disebutkan, pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral Logam boleh ekspor jika telah melakukan pengolahan dan pemurnian; dalam proses pembangunan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, dan/atau kerja sama pengolahan dan/atau pemurnnian.
Mereka dapat menjual produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri. Hal inidilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun sejak UU tersebut berlaku (10 Juni 2020). Oleh karena itu, pelarangan ekspor bijih bauksit yang diumumkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu merupakan amanat UU tersebut.
Baca juga: Ekspor Bijih Bauksit Dihentikan Mulai Juni 2023
Kita terjebak dengan munculnya ratusan pertambangan bauksit. Besarnya produksi bauksit tak mempertimbangkan arah hilirisasi yang telah diamanahkan dalam UU Minerba
Rentang waktu 2014 hingga 2022, menurut Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, Jumat (23/12/2022), boleh dikatakan sangat terlambat. Pada 2014, hilirisasi mineral, termasuk bauksit, seharusnya sudah dijalankan. Bahkan, tak cuma alumina, tetapi hingga produk produk aluminium ingot, aluminium billet, dan aluminium alloy.
"Namun, kita terjebak dengan munculnya ratusan pertambangan bauksit. Besarnya produksi bauksit tak mempertimbangkan arah hilirisasi yang telah diamanahkan dalam UU Minerba. Akibatnya jelas, perdebatan lebih pada tingkat boleh tidaknya ekspor bahan mentah bauksit," kata Singgih.
Perlu ketegasan
Singgih mengatakan, dengan sisa waktu 6 bulan, bauksit dalam negeri tak bakal mampu diserap jika melihat ketersediaan smelter alumina (turunan bauksit), termasuk mempertimbangkan smelter yang sedang dibangun. Apalagi, tingkat produksi bauksit tak diatur tegas. Oleh karena itu, pengaturan besaran produksi perlu kembali dipertegas, dengan memperhitungkan kondisi riil smelter.
Komitmen pembangunan smelter dari pelaku usaha yang telah mendapat izin ekspor dengan kesediaan membangun smelter juga perlu terus dipantau. "Pemerintah harus tegas, bahkan menghentikan izin ekspor jika dari evaluasi yang ditemukan investor sebatas memberikan komitmen tanpa terlihat progres pembangunan smelter itu," katanya.
Sikap tegas yang ditunjukkan Presiden Jokowi, imbuh Singgih, mesti diterjemahkan Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi/BKPM dengan memperbanyak smelter alumina. Berbagai kebijakan fiskal dan nonfiskal perlu disiapkan.
Singgih menuturkan, untuk serapan industri pada tingkat lebih hilir seperti otomotif, hilirisasi bauksit hingga aluminium ingot -tak sebatas alumina- harus diperbanyak. Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, hilirisasi hingg alumina perlu lebih dulu diperkuat. Bahkan, jika dipandang perlu, Presiden dapat mengundang pengusaha tertentu yang dianggap kuat secara finansial untuk terlibat dalam hilirisasi bauksit hingga produk aluminium alloy.
"Dengan mematangkan perhitungan bisnis, perbankan nasional akan tertarik dalam pembiayaan smelter bauksit. BUMN semestinya juga dilibatkan dalam kepemilikan smelter bauksit. (Dengan begitu), optimalisasi manfaat hilirisasi jauh akan memberikan nilai lebih bagi ekonomi nasional, termasuk kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Optimalisasi manfaat hilirisasi jauh akan memberikan nilai lebih bagi ekonomi nasional, termasuk kesejahteraan rakyat
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto memperkirakan, 40 juta ton bauksit berpotensi tak terserap saat larangan ekspor berlaku Juni 2023. Perkiraan itu merujuk pada adanya 28 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB).
Pengusaha, imbuh Ronald, tidak akan cengeng dalam situasi tersebut. Kebijakan larangan ekspor mereka akui sebagai amanat UU. Namun, persoalan industri hulu-hilir bauksit, termasuk pembangunan smelter perlu didiskusikan. Selain perlu dukungan pemerintah terkait pendanaan smelter, ia juga menilai peta jalan hilirisasi bauksit mesti dikaji ulang.
Optimalisasi dan percepatan
Berdasarkan Data Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2021, bauksit yang ditambang pada 2021 adalah 21,5 juta ton. Sebanyak 3,19 juta atau 15 persen di antaranya diproses di dalam negeri, selebihnya diekspor. Angka itu di bawah target yang ditetapkan 18 persen, antara lain karena permintaan pasar global chemical alumina yang menurun, sehingga produksinya ikut menurun.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, produksi bauksit saat ini sekitar 25 juta ton dan 90 persen di antaranya diekspor. Adapun smelter yang sudah beroperasi berjumlah empat unit, sedangkan delapan unit masih dalam tahap konstruksi.
Baca juga: Peta Jalan Industri Hilir Bauksit Harus Diperjelas
Menurut Arifin, yang didorong selama 6 bulan ke depan ialah optimalisasi kapasitas serapan dan percepatan pembangunan smelter. Sebab, empat smelter yang telah beroperasi baru menggunakan separuh kapasitas dan masih dapat ditambah 20 persen. Sementara itu, saat delapan smelter lainnya tuntas dibangun, akan dibutuhkan 40 juta ton bijih nikel.
Apabila merujuk pada aturan, pembangunan smelter-smelter itu seharusnya bisa tuntas pada Juli 2023 seperti yang ditargetkan. "Pembangunan ini juga sudah diverifikasi surveyor," katanya.
Arifin menjelaskan, selama ini, perusahaan-perusahaan dibolehkan ekspor bijih bauksit, salah satunya untuk membiayai smelter. Dibolehkannya ekspor hingga Juni 2023 sudah sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Ada perjanjian untuk pembangunan smelter, dengan tahapan progresnya. Meski sempat terhambat pandemi Covid-19, kini pembangunan didorong untuk dipercepat.
Ia tak memungkiri, menjelang jatuh tempo, kemungkinan akan ada pengajuan relaksasi dari perusahaan. Pemerintah pun akan melihatnya nanti. "Namun, saat ini pemerintah berpegang pada apa yang diamanatkan undang-undang," katanya.
Industri turunan bauksit yang hendak dikembangkan perlu diperjelas. Harus ada peta jalan dari hulu ke hilir dengan mengedepankan prinsip pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, mengatakan, industri turunan bauksit yang hendak dikembangkan perlu diperjelas. Harus ada peta jalan dari hulu ke hilir dengan mengedepankan prinsip pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Komitmen akan kebijakan regulasi penting agar ke depan tak ada lagi relaksasi-relaksasi.
Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo pada beberapa kesempatan, hilirisasi mineral mentah akan dijalankan. Berkaca pada pelarangan ekspor bijih nikel sejak 2020, nilai tambah didapat dan berujung pada peningkatan nilai ekspor. Hilirisasi ini juga membuka lapangan kerja. Setelah nikel dan bauksit, pelarangan ekspor bahan mentah timah dan tembaga rencananya juga bakal diterapkan.
Komitmen dan ketegasan pemerintah, bagaimana pun menjadi langkah yang sudah semestinya, seperti diamanatkan undang-undang. Namun, arah hilirisasi beserta peta jalan yang lebih jelas dibutuhkan.
Jangan sampai terjadi, saat sudah waktunya membicarakan teknologi hingga serapan industri paling hilir, Indonesia malah kembali terjebak dalam tarik-ulur kebijakan ekspor.