Dengan Berbagai Pertimbangan, Program B35 akan Dimulai Tahun 2023
Pemerintah berencana memulai program B35 atau campuran solar dengan 35 persen biodiesel mulai tahun depan. Penerapan program itu diperkirakan bakal meningkatkan kebutuhan biodiesel sebanyak 1,9 juta kiloliter.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memutuskan penggunaan campuran biodiesel 35 persen pada bahan bakar solar atau B35, bukan B40 yang sebelumnya sudah disiapkan, pada tahun 2023. Keputusan itu diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan, seperti kesiapan bahan baku, kapasitas produksi badan usaha bahan bakar nabati, hiingga standar spesifikasi yang mesti dipenuhi.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo, saat dihubungi, Kamis (22/12/2022) mengatakan, keputusan terkait penggunaan B35 pada 2023 didasarkan pada hasil sidang kabinet. Hal tersebut telah mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti produksi biodiesel dan infrastruktur.
Meurut Edi, melalui program B35, akan ada peningkatan kebutuhan B100 (biodiesel) sebesar 1,9 juta kiloliter (KL) atau setara dengan pengurangan solar sebesar volume yang sama. Secara teknis nantinya akan dibahas bersama dalam tim pengawas di Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM pada masa transisi program itu. "Saat ini, tim uji jalan juga masih menyelesaikan laporan dan rekomendasinya," kata Edi.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, Rabu (21/12/2022), Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyatakan, mandat (kewajiban) penggunaan bahan bakar nabati (BBN) B35 mulai 1 Januari 2023 sudah siap. Hal tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo dalam keputusan sidang kabinet pada Selasa (6/12/2022).
Menurut Dadan, setelah keputusan tersebut, pihaknya langsung menyipakan sejumlah hal. "Juga koordinasi dengan pihak terkait, di antaranya dengan Dirjen Migas (Kementerian ESDM), badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN), badan usaha BBM, dan para pemangku kepentingan lain," kata Dadan.
Ia menjelaskan, ketersediaan bahan baku, terutama minyak sawit mentah (CPO), kapasitas produksi BU BBN, dan standar spesifikasi yang diharus dipenuhi menjadi pertimbangan digunakannya B35, bukan B40.
"Memang secara kapasitas cukup besar, di sisi lain kami juga selalu meminta setiap peningkatan pencampuran harus bisa memastikan tidak ada pengurangan spesifikasi blending-nya (campurannya). Biodiesel itu jangan jadi pengotor dalam campuran ini, maka harus dilakukan pengawasan volume dan spek terpenuhi," ujarnya.
Evaluasi dan persiapan
Akhir tahun 2022 ini, lanjut Dadan, adalah masa transisi penggunaan B30 ke B35. Masa transisi digunakan untuk melihat dan mengevaluasi persiapan program B35 ini bisa berjalan dengan baik atau tidak.
"Minggu keempat, saya akan berdiskusi dengan Ditjen Migas seperti apa progresnya untuk B35, baik dari sisi minyak solar dan biodieselnya, satu bulan waktu yang relatif optimal untuk memastikan persiapan dan spesifikasinya. Saya ingin memastikan, biodiesel yang sampai ke konsumen spesifikasi untuk B35, kita tidak ingin spesifikasi B30 untuk yang B35," kata dia.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurachman, dalam konferensi pers akhir tahun BPDPKS di Jakarta, Kamis (22/11/2022), mengatakan, kewenangan dalam penetapan penggunaan B35 menjadi kewenangan Kementerian ESDM. Hal tersebut pun sudah ditetapkan.
Sementara terkait B40, imbuh Eddy, pihaknya memberi dukungan terkait dengan uji coba. "Uji coba B40 menunjukkan hasil yang cukup baik. Namun, masih ada beberapa hal yang dipikirkan dalam penerapannya, khususnya terkait dengan kapasitas produksi dari produsen-produsen biodiesel," katanya.
Pasalnya, kata Eddy, kondisinya rentan jika produksi dari produsen biodiesel yang berkisar 16 juta KL dan volume kebutuhannya sekitar 15 juta KL. Pihaknya juga akan turut memantau perkembangan B40, yang pengujiannya selama ini sudah valid.