Pemerintah Uji Jalan Bahan Bakar B40 hingga Akhir Tahun
Pemerintah mulai menguji pemakaian campuran biodiesel 40 persen pada solar (B40) dan campuran B30 dengan diesel hidrokarbon 10 persen (B30D10) untuk kendaraan. Uji jalan akan berlangsung hingga Desember 2022.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mulai mencoba penggunaan campuran biodiesel 40 persen pada bahan bakar solar atau B40 dan pencampuran B30 dengan diesel hidrokarbon 10 persen atau B30D10 untuk uji jalan. Uji jalan untuk mengukur tingkat keekonomian kedua bahan bakar tersebut direncanakan berlangsung sampai Desember 2022.
Pemerintah mengklaim implementasi B40 atau B30D10 nantinya akan mampu mengurangi defisit neraca perdagangan dan menjaga kestabilan harga komoditas kelapa sawit.
”Ini merupakan kebijakan substitusi bahan bakar minyak (BBM) yang telah diinisiasi sejak tahun 2015. Tidak hanya berhenti pada penerapan B30, tetapi lanjut B40 hingga B100 sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan. Melalui kebijakan ini pula, kami harap bisa menjaga kestabilan komoditas minyak sawit,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat meresmikan uji jalan B40 dan B30D10, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Menurut Arifin, produksi minyak mentah dalam negeri berkurang. Selain itu, hingga kini perang Rusia-Ukraina dinilai masih memengaruhi tingginya harga minyak mentah di pasar internasional.
Sebelum uji jalan, Arifin menyatakan, sederet penelitian di laboratorium terkait B40 telah ditempuh, antara lain untuk melihat kandungan air dan oksidasi. Selama proses uji jalan, kualitas pemakaian B40 di kendaraan berkapasitas di bawah 3,5 ton atau di atas 3,5 ton akan amat diperhatikan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, jarak tempuh uji jalan kendaraan berkapasitas di bawah 3,5 ton adalah 50.000 kilometer, sedangkan jarak tempuh kendaraan di atas 3,5 ton akan mencapai 40.000 kilometer. Total ada sekitar 12 kendaraan yang dipakai uji jalan, termasuk kendaraan penumpang.
Selama uji jalan, selain kualitas pemakaian, tim juga akan menilai dampak terhadap mesin. Pelaksanaan uji jalan akan mengambil lokasi di Jawa Barat, seperti Lembang. Durasi uji yang berlangsung sampai akhir tahun karena harus ada sesi servis dan ganti oli setiap jarak tempuh mencapai 10.000 kilometer.
Sepanjang uji jalan tersebut, kata Dadan, akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sejauh ini belum ada perhitungan harga keekonomian B40 atau B30D10 untuk dilepas ke pasar. Pihaknya masih fokus ke uji jalan.
Dadan mengakui bahwa pada saat bersamaan sedang ada pengujian filter blocking B35. Ini merupakan hasil diskusi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perindustrian, serta Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Lama uji itu diperkirakan berlangsung satu bulan. Dari sisi produksi B35 sebenarnya sudah siap.
”Preferensi kami adalah untuk meningkatkan bahan bakar sawit. Jika B35 jadi diterapkan, alokasi biodiesel ditambah 700.000–800.000 kiloliter. Sementara jika B40 diimplementasikan, kemungkinan alokasinya tambah 3,5 juta kiloliter dari alokasi saat ini,” katanya.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) Eddy Abdurrachman, yang hadir saat bersamaan, mengatakan, sejak Juli 2022, harga minyak sawit mentah (CPO) relatif turun. Harga indeks pasar (HIP) biodiesel yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar membuat BPDKS tidak menutup biaya HIP, setidaknya pada Juli-Agustus 2022.
Saat dihubungi terpisah, Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov memandang, rencana pemerintah meningkatkan porsi mandatory biodiesel tersebut karena semata-mata merespons harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang sedang jatuh. Ekspor CPO pun belum pulih. ”Sampai Mei 2022, penyerapan domestik minyak sawit mentah (CPO) dalam negeri baru sekitar 39 persen dari target 19 juta ton. Ini merupakan persoalan. Maka, ’jalan pintas’ mengatasinya adalah mendorong kenaikan pemakaian biodiesel,” ujar Abra.
Meski mampu menyelamatkan sisi hulu industri kelapa sawit, Abra berpendapat, kenaikan pemakaian biodiesel untuk campuran solar akan membuat pemerintah menambah subsidi. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya melongok kembali kemampuan fiskal.
”Selama ini, konsumsi biosolar di masyarakat tinggi karena pemerintah menyubsidi solar. Padahal, harga biosolar sudah jauh di bawah harga keekonomiannya. Pemerintah perlu berhati-hati menerapkan B40 dan sebaiknya temporer,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, pemerintah perlu mengevaluasi terlebih dulu pelaksanaan B30 secara menyeluruh. Menurut dia, ada beberapa isu yang semestinya jadi catatan pemerintah. Pertama, masalah harga eceran biosolar yang sebenarnya lebih mahal dibandingkan dengan harga eceran bahan bakar minyak.
Masalah kedua adalah soal ketersediaan dan keberlanjutan pasokan biodiesel. Apabila harga tinggi, pengusaha sawit lebih memilih mengekspor. Masalah ketiga berkaitan dengan teknis, seperti korosi yang ditimbulkan dari pemakaian biosolar dan dampaknya terhadap keamanan kendaraan.
”Harga CPO juga tidak bisa diintervensi pemerintah. Lagi pula, apabila bahan bakar minyak diganti bahan bakar nabati, apakah ada jaminan harga eceran bahan bakar nabati lebih murah,” kata Komaidi.