Panel Surya di Kampus Nehru, Jalan Panjang Energi Baru
Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, India, mengonversi energi matahari menjadi listrik melalui panel surya di atap kampus. Bagaimana dengan kita?
Oleh
ADI PRINANTYO
·4 menit baca
Rabu (14/12/2022) pagi, sejumlah petugas mengecek kelancaran konversi energi surya di atap gedung kampus Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, India. Panel-panel energi surya terpasang di atap delapan gedung kampus, guna menghimpun sinar matahari dan mengonversinya menjadi energi listrik. Pemasangan panel itu dengan kemiringan 23 derajat, menyesuaikan sudut jatuhnya sinar matahari.
Manajemen Universitas Jawaharlal Nehru menerapkan prosedur keamanan dan keselamatan bagi tamu-tamu yang berkunjung, termasuk tim dari Indika Energy Indonesia, berikut sejumlah wartawan yang ikut serta. Helm dan rompi keselamatan wajib dikenakan.
Sajid Syed, Head of International Business dari Fourth Partner Energy, menuturkan, konversi energi surya ini upaya nyata mengurangi emisi karbon, sebagai bagian dari mewujudkan komitmen dunia dalam menerapkan energi baru-terbarukan (EBT). ”Panel-panel surya ini beroperasi sejak matahari terbit hingga terbenam. Jadi, tidak ada mekanisme penyimpanan dengan baterai. Semua energi surya langsung dikonversi dan dialirkan,” ujar Syed.
Menurut dia, kapasitas maksimum deretan panel surya di delapan atap gedung kampus Jawaharlal Nehru mencapai 500 kilowatt per jam. Energi surya yang terserap kemudian dikonversi menjadi energi listrik melalui mekanisme DCpower. ”Setelah dikonversi ke energi listrik, lantas dipakai untuk penerangan di kampus, kipas angin, dan fungsi lainnya,” kata Syed, mewakili Fourth Partner Energy, kolaborator Indika Energy untuk bisnis energi terbarukan.
Konversi energi surya ke energi listrik seperti yang dijalankan di kampus Jawaharlal Nehru menjadi salah satu bagian kecil dari upaya pemerintah dan pemangku kepentingan di India untuk mewujudkan energi terbarukan. Meski di sebagian negara bagian India sudah bisa berjalan baik, kemajuan semacam itu tak bisa disamaratakan dengan negara bagian yang lain.
Vinay Rustagi, Managing Director Bridge to India Energy, mengungkapkan, Pemerintah India sebenarnya telah membuka akses penerapan EBT sejak 2003. Namun, apakah sejak 2003 EBT bisa mewujud secara meluas, ternyata tak semudah itu. ”Seiring waktu, muncul penolakan di kalangan pemerintah negara bagian sehingga kebijakan terkait energi surya berubah-ubah dan cenderung tidak konsisten,” katanya.
Yang menarik, dalam dua tahun terakhir muncul desakan dari sejumlah kelompok usaha dan publik sebagai konsumen untuk membuka pasar energi terbarukan dengan seluas-luasnya. Bridge to India Energy kemudian mengusulkan program-program yang bertujuan mengungkit penggunaan energi terbarukan, termasuk dengan menggelar presentasi di hadapan pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian.
”Pada saat yang sama, dari perspektif global juga meluas desakan untuk menjalankan energi berkelanjutan dan Pemerintah India berkepentingan untuk membuktikan hal itu kepada dunia. Jadi, ibarat dari tekanan dari atas, dalam hal ini kepentingan bersama negara-negara di dunia, dan juga dari bawah, yakni dari kalangan profesional, akademi, korporasi dan masyarakat,” kata Rustagi.
Cermati alternatif
Perkembangan penerapan EBT di India menjadi tujuan kunjungan tim Indika Energy, dipimpin CEO Indika Energy Azis Armand. Menurut Azis, salah satu fokus adalah bagaimana tim Indika Energy bisa mencermati beberapa alternatif aplikasi panel surya, salah satunya di atap kampus Universitas Jawaharlal Nehru. ”Konversi ke energi terbarukan itu opsinya banyak dan kapasitasnya juga variatif. Kita perlu bersama-sama mengampanyekan konversi ke energi surya,” ujarnya.
Terlebih, kata Azis, teknologi EBT juga sudah sangat berkembang. Sebagai contoh, intensitas energi per panel makin hari makin efisien atau makin tinggi. Berat panel juga semakin ringan sehingga teknologinya bisa dikategorikan sudah matang.
Intensitas energi per panel makin hari makin efisien atau makin tinggi. Berat panel juga semakin ringan sehingga teknologinya bisa dikategorikan sudah matang.
”Tantangan beratnya, tak lain terkait pendanaan. Karena itu, pemangku kepentingan mesti sama-sama mendukung, baik itu perbankan, produsen, developer, maupun konsumen. Bagi Indika, juga ada prospek secara bisnis sehingga kami serius menekuni bidang ini,” kata Azis.
Chief Investment Officer Indika Energy Purbaja Pantja menambahkan, prospek energi surya di Indonesia tergolong bagus. Setidaknya, itu terlihat dari volume permintaan yang dari tahun ke tahun meningkat sehingga Indika Energy juga menetapkan target-target yang mengiringi volume permintaan tersebut.
Sesuai data, pada 2021, Indika Energy menuntaskan instalasi energi surya sebesar 40 megawatt peak (MWp) meski baru dimulai pada April 2021. Pada tahun ini, diselesaikan hampir 50 MWp dan 2023 ditargetkan 100 MWp. ”Proyeksi kami, Indika Energy akan memasang lebih dari 500 MWp pada 2025,” kata Purbaja.
Terkait prospek permintaan itu, kata Purbaja, bahkan Indika bisa memberikan potongan harga bagi konsumen. ”Dibandingkan energi terbarukan yang lain, konstruksi energi surya ini termasuk cepat. Begitu tanda tangan perjanjian kerja sama, dalam enam bulan sudah bisa diwujudkan. Tentu tergantung dari kapasitas dan lain-lain. Kalau untuk energi terbarukan lainnya, perlu waktu tahunan,” katanya.
Panel surya di atap kampus Universitas Jawaharlal Nehru bisa menjadi cerminan bagi Indonesia akan penerapan energi surya. Dengan target kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya sebesar 2.300 megawatt pada 2023, selayaknya perencanaan menuju realisasi target itu direncanakan secara matang.