Akibat kenaikan harga BBM, biaya yang dikeluarkan nelayan saat melaut meningkat, sementara pendapatan merosot. Subsidi ke nelayan perlu dipermudah.
Oleh
Velicia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi untuk nelayan, khususnya jenis solar bersubsidi, meningkatkan biaya produksi sekaligus menurunkan permintaan terhadap hasil tangkapan nelayan. Kenaikan harga menyebabkan keuntungan dan pendapatan nelayan semakin tipis.
Demikian beberapa kesimpulan dalam diskusi publik bertajuk “Dampak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi bagi Kelompok Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia”, Senin (19/12/2022), yang diselenggarakan secara daring. Narasumber utama diskusi ini adalah Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan.
Berdasar survei CORE Indonesia, menurut Faisal, tercatat sebanyak 57 persen nelayan mengalami penurunan permintaan terhadap hasil tangkapan mereka pascakenaikan harga BBM bersubsidi (biosolar). Survei yang dilakukan pada periode 22 Oktober sampai 30 November 2022 ini dilakukan terhadap nelayan yang ada di Demak dan Semarang (Jawa Tengah); Tangerang (Banten); serta di Gresik dan Surabaya (Jawa Timur).
”Dari sisi permintaan, logikanya, ketika biaya produksi meningkat akibat kenaikan harga BBM, produsen atau nelayan dapat menaikkan harga hasil tangkapan atau produknya. Faktanya, hal itu tidak mudah dilakukan karena di saat yang sama, daya beli konsumen menurun akibat kenaikan harga BBM itu,” kata Faisal.
Faisal menambahkan, konsumen di daerah yang disurvei mengurangi pembelian atau permintaan terhadap hasil tangkapan nelayan. Mereka lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok, seperti beras atau membeli BBM meski harganya meningkat. Penurunan permintaan tersebut menekan pendapatan nelayan.
Selain disebabkan permintaan menurun, lanjut Faisal, tengkulak juga berperan dalam masalah ini. Pasalnya, harga hasil tangkapan nelayan kerap ditentukan oleh tengkulak. Tengkulak adalah pembeli utama hasil tangkapan nelayan.
”Dampak kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan penurunan keuntungan nelayan. Penurunan terbesar dialami nelayan di Gresik yang merosot hingga 54 persen. Berikutnya adalah di Tangerang yang turun hingga 46 persen dan di Demak turun sampai 41 persen,” ucap Faisal.
Kenaikan harga BBM bersubsidi diputuskan pemerintah pada 3 September 2022. Saat itu, harga biosolar (solar bersubsidi) naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter atau naik 32 persen. Adapun pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter atau naik 31 persen. Solar adalah bahan bakar utama yang banyak dipakai nelayan.
Kesulitan akseslitan akses
Selain kenaikan harga, menurut Dani Setiawan, nelayan kecil di sejumlah daerah kesulitan untuk mendapat BBM bersubsidi tersebut. Secara umum, ada tiga kendala dalam mendapatkan BBM bersubsidi itu, yaitu kendala administrasi, kuota BBM bersubsidi yang tak sesuai realisasi, serta keterbatasan infrastruktur penyaluran BBM bersubsidi.
”Dari hasil survei KNTI di 2021 terhadap 5.292 nelayan, sebanyak 82 persen mengaku tidak memiliki akses terhadap BBM bersubsidi,” ucap Dani.
Terkait infrastruktur, imbuh Dani, sebanyak 83 persen nelayan mengaku membeli BBM ke pengecer dengan harga yang lebih mahal dari harga resmi pemerintah. Hal itu disebabkan ketiadaan stasiun pengisian bahan bakar umum nelayan (SPBUN) di lokasi terdekat. Padahal, jumlah desa pesisir mencapai 10.743 desa, sedangkan jumlah SPBUN hanya sebanyak 374 unit.
”Biaya operasional yang dikeluarkan nelayan meningkat. Namun, hal itu belum diimbangi dengan keuntungan yang diperoleh. Selain itu, bantuan langsung tunai yang dijanjikan untuk nelayan juga banyak yang belum menerimanya,” ucap Dani.
Diskusi tersebut merekomendasikan pemerintah agar menghitung dengan matang dampak yang dialami nelayan dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, bantuan sosial untuk meredam gejolak akibat kenaikan harga BBM harus dibagikan tepat waktu, tepat nilai, dan tepat sasaran.
”Infrastruktur semacam SPBUN perlu diperbanyak untuk membantu mempermudah penditribusian BBM bersubsidi kepada nelayan kecil dan nelayan tradisional karena harganya lebih terjangkau dibanding mereka membeli ke pengecer,” ujar Faisal.
Selain itu, lanjut Faisal, pemerintah perlu mendorong penggunaaan energi alternatif pengganti solar atau pertalite, misalnya bahan bakar gas.
Sebelumnya, pada November 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengusulkan kuota tahunan BBM bersubsidi untuk nelayan sebanyak 2,2 juta kiloliter. Namun, kuota yang diberikan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) hanya sebanyak 624.834 kiloliter. KKP telah melayangkan surat kepada BPH Migas dan Pertamina pada 20 September 2022 untuk mencari solusi terkait dengan permasalahan kekurangan BBM subsidi untuk nelayan tersebut.
”Kami berharap adanya penambahan kuota BBM bersubsidi atau ada harga khusus untuk nelayan,” ujar Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi. Wahyu menambahkan, berdasarkan identifikasi data nelayan pengguna BBM per provinsi serta jumlah dan kuota SPBUN di setiap provinsi, terdapat kebutuhan penambahan SPBUN sebanyak 178 unit.