Kebijakan Inklusif Dapat Atasi Kerawanan Pangan Rumah Tangga
Pemerintah memang menghadapi tantangan terbatasnya jumlah anggaran. Namun, dalam menghadapi disrupsi perekonomian dunia, Indonesia perlu memperkuat daya tahan di tingkat rumah tangga.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat pandemi Covid-19 yang menggerus pendapatan, kerawanan pangan di tingkat rumah tangga di Indonesia meningkat. Permasalahan rumah tangga ini perlu diantisipasi dengan kebijakan pemulihan yang inklusif, terlebih dalam menghadapi rambatan tantangan perekonomian dunia.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), SMERU Research Institute, dan Australia Indonesia Partnership for Economic Development (Prospera) meluncurkan hasil penelitian berjudul ”The Social and Economic Impact of Covid-19 on Households in Indonesia: A Second Round of Surveys in 2022”. Laporan itu dipublikasikan di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Survei yang dipublikasikan tersebut merupakan putaran kedua dari penelitian pertama pada Oktober-November 2020. Pada periode kedua, yakni Februari 2022, peneliti menyurvei ulang 10.922 rumah tangga yang menjadi responden pada putaran penelitian pertama.
Sebanyak 58,45 persen responden berada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera (21,44 persen), Pulau Sulawesi (6,57 persen), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (5,76 persen), Pulau Kalimantan (5,73 persen), serta Pulau Maluku dan Papua (2,05 persen).
Salah satu temuan riset itu ialah sebanyak 13,8 persen dari responden pada 2022 mengalami kerawanan pangan tingkat menengah dan parah. Jumlah ini setara dengan 9,7 juta rumah tangga.
Jika dibandingkan dengan penelitian putaran pertama pada 2020, proporsi responden yang mengalami kerawanan pangan tingkat menengah dan parah mencapai 11,7 persen. Kenaikan proporsi dalam dua tahun tersebut setara dengan 1,47 juta rumah tangga.
Tingkat kerawanan pangan itu mengacu pada skema Food Insecurity Experience Scale. Pada skala itu, indikator kerawanan pangan pada tingkat menengah ialah tidak makan pada waktu yang seharusnya (skipped meal) dan mengurangi makan. Adapun indikator kerawanan pangan tingkat parah terdiri dari tidak adanya makanan, kelaparan, dan seharian tidak makan.
Menurut Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Penjangkauan The SMERU Research Institute Athia Yumna, situasi itu patut menjadi perhatian, apalagi ke depan Indonesia akan menghadapi ketidakpastian berlapis sepanjang 2023, salah satunya akibat krisis iklim, kenaikan harga komoditas di pasar dunia, serta perang Ukraina dan Rusia yang dapat menyebabkan krisis pangan dan energi.
”Hasil penelitian ini membuat saya sedih. Dalam salah satu wawancara ketika survei, ada responden yang berkata kepada anaknya yang menahan lapar, ’Kelaparan tidak akan membuatmu meninggal’,” tuturnya saat publikasi laporan riset di Jakarta, Kamis.
Secara spesifik, proporsi kerawanan pangan dalam kelompok 20 persen responden dengan tingkat kesejahteraan terendah pada 2022 mencapai 18,6 persen dan meningkat dibandingkan angka tahun sebelumnya yang sebesar 11,7 persen. Proporsi kerawanan pangan kelompok tersebut pada 2022 menempati posisi teratas jika dibandingkan dengan empat kelompok lainnya yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi.
Faktor yang menyebabkan kenaikan kerawanan pangan rumah tangga itu terdiri dari penurunan pendapatan, peningkatan pengeluaran, dan pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19. Akibatnya, lanjut Athia, rumah tangga cenderung mengurangi pengeluaran untuk pangan.
Dalam penelitian yang sama, ada sejumlah strategi yang dipilih responden rumah tangga untuk mempertahankan hidup selama pandemi Covid-19. Empat strategi teratas terdiri dari meminjam uang dari saudara atau kerabat, menjual atau menggadaikan barang, mengurangi pengeluaran nonpangan, serta mengurangi pengeluaran untuk pangan.
Oleh sebab itu, Athia mengimbau pemerintah untuk menghindari opsi penarikan kebijakan pelindungan sosial, khususnya bagi kelompok rumah tangga yang rentan. Dia juga mengusulkan kebijakan pemerataan pendapatan kelompok rumah tangga melalui mekanisme perpajakan.
Direktur Prospera David Nellor menilai pemerintah memang menghadapi tantangan terbatasnya jumlah anggaran. Namun, dalam menghadapi disrupsi perekonomian dunia, Indonesia perlu memperkuat daya tahan di tingkat rumah tangga.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Regional Titik Anas menilai survei yang dipaparkan bermanfaat dalam penyusunan kebijakan. Desain kebijakan fiskal 2023 akan berfokus pada penguatan sumber daya manusia serta pelindungan sosial pada kelompok 40 persen masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Maliki mengatakan, situasi tersebut membutuhkan kebijakan yang adaptif. ”Pandemi Covid-19 bukan tantangan satu-satunya. Ini (kebijakan adaptif) dibutuhkan untuk menghadapi berbagai macam guncangan lainnya,” katanya.
Wakil Residen UNDP di Indonesia Sujala Pant mengatakan, Pemerintah Indonesia membutuhkan kebijakan pemulihan ekonomi yang inklusif. Perhatian khusus di bidang pangan dibutuhkan karena berpengaruh pada gizi dan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, Acting Counsellor Infrastructure and Economic Governance Australian Embassy in Indonesia James Gilbert menyatakan, hasil penelitian tersebut dapat membantu Indonesia dan Australia memetakan kelompok yang paling rentan selama pandemi Covid-19. Kelompok-kelompok rentan perlu memiliki akses terhadap kebijakan-kebijakan yang berorientasi untuk mengatasi ketimpangan.