Persaingan Pasar Makin Ketat, Dorong Daya Saing Produk Indonesia
Daya saing produk ekspor perikanan perlu terus didorong agar tidak semakin tertinggal oleh negara produsen lain. Potensi pasar perikanan global yang terus tumbuh menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Persaingan ekspor perikanan di pasar dunia semakin ketat. Indonesia dengan potensi perikanan yang sangat besar dinilai masih berkutat pada hambatan daya saing. Oleh karena itu, perlu terobosan untuk menggarap hulu-hilir perikanan secara efisien serta mempermudah perizinan.
Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budidaya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rahmat Mulianda menyatakan, tingkat persaingan pasar komoditas perikanan terus meningkat meski kebutuhan konsumsi pangan perikanan di tingkat global terus bertumbuh. Ancaman pasar datang dari negara-negara produsen pesaing.
Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar dengan 7,5 juta orang yang menggantungkan hidup pada sumber daya laut. Namun, potensi besar itu belum dikelola secara optimal. Apabila pendekatan produksi perikanan hanya dilakukan secara konvensional dan tanpa terobosan inovasi, ia khawatir Indonesia akan kalah dengan negara pesaing yang memiliki produk yang lebih efisien, regulasi yang kondusif, serta iklim investasi dan infrastruktur yang baik.
“Ada ancaman dari pendatang-pendatang (produsen) baru. Kita harus berupaya agar produksi kita tidak tergusur,” katanya, dalam Seminar "Kupas Tuntas Hulu Hilir Rumput Laut dan Udang Menguasai Dunia," secara hibrida, Rabu (7/12/2022).
Dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, produksi perikanan Indonesia mencapai 24,48 juta ton pada 2021. Namun, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto hanya 2,7 persen. Negara tujuan utama ekspor perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat, China, Jepang, ASEAN, dan Uni Eropa.
Rahmat menambahkan, Indonesia perlu terus memperluas pasar ke negara-negara tujuan ekspor yang belum maksimal, seperti Uni Eropa, China, dan ASEAN. Di sisi hulu, kolaborasi diperlukan untuk mengupayakan perizinan yang mudah, inovasi teknologi lebih efisien, dan daya saing ekspor. “Upaya mengejar target ekspor senilai 8 miliar dollar AS pada 2024 sangat berat sehingga butuh kesungguhan dari seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan nilai ekspor perikanan pada tahun 2022 sekitar 6 miliar dollar AS atau Rp 93,6 triliun atau di bawah target tahun ini sebesar 7,13 miliar dollar AS. Hal itu disebabkan oleh masih adanya sejumlah hambatan ekspor di tengah resesi ekonomi global dan dampak pandemi Covid-19. (Kompas, Rabu 7/12).
Rahmat mengemukakan, sektor perikanan sangat prospektif untuk pemenuhan pangan biru global. Pada 2013, Bank Dunia memproyeksikan pada 2030 konsumsi pangan biru akan mencapai 151 juta ton. Akan tetapi, data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2022 menyebut konsumsi pangan biru pada tahun 2020 sudah mencapai 157 juta ton.
Belum punya standar
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Muhammad Isa Anshori, mengemukakan, Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia masih kalah dalam kontribusi pasar perikanan global. Total nilai ekspor perikanan tahun lalu sekitar 5,2 miliar dollar AS masih kalah jauh dibandingkan nilai ekspor perikanan China sebesar 154 miliar dollar AS.
Pada tahun 2021, misalnya, produksi rumput laut China menempati peringkat teratas dunia, yakni hampir 20 juta ton per tahun. Sedangkan produksi Indonesia 9,7 juta ton rumput laut basah. Salah satu kendala ekspor adalah belum adanya standar kualitas.
“Kita belum punya standar kualitas dan higienitas. Sementara produk perikanan yang diekspor kontrolnya kuat. Upaya perlu terus dilakukan agar produksi rumput laut berstandar ekspor agar bisa diterima pasar internasional,” katanya.
Di sisi lain, rantai pasok perikanan diisi banyak pedagang perantara (broker) yang menyebabkan biaya tinggi. Nilai tambah produksi perikanan lebih besar dinikmati oleh pedagang perantara ketimbang produsen. Akibatnya, nilai tukar nelayan dan pembudidaya cenderung rendah dan sulit berekspansi untuk meningkatkan daya saing.
“Nilai tambah dinikmati broker atau (pelaku) sektor hilir, sedangkan sektor hulu selalu susah. Ini menyebabkan produk perikanan biaya tinggi sehingga harus dikikis. Broker harus dibina agar keuntungan dari naiknya harga bisa terukur. Kalau tidak terukur, nasib nelayan di hulu semakin tertekan dan daya saing semakin turun,” ujar Anshori.
Direktur Perbenihan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nono Hartanto menyoroti permasalahan utama produksi rumput laut, yakni berupa bibit yang berkualitas buruk dan kuantitas terbatas. Hampir seluruh rumput laut diproduksi oleh petambak rakyat. Investor swasta kurang tertarik pada investasi di sektor hulu. Akibatnya, kontrol terhadap produksi dan kualitas tidak optimal. “Mutu kita belum terstandar. Pembudidaya kurang memperhatikan mutu,” katanya.
Ia menilai, investasi di hulu masih minim karena harga rumput laut masih fluktuatif sehingga stabilitas harga sulit diharapkan. Investasi swasta lebih terpusat pada sektor hilir atau pengolahan. Akan tetapi, sektor hilir kini menghadapi kekurangan bahan baku. Padahal, pada tahun 2024 Indonesia telah menargetkan produksi rumput laut basah sebanyak 12,3 juta ton.
Satrio Nugroho, dari PT Central Proteinaprima, mengemukakan, standar operasional prosedur yang ditetapkan pemerintah untuk budidaya rumput laut masih belum terlihat. Padahal, standar operasional prosedur diperlukan untuk meningkatkan produksi budidaya.