Unit Telekomunikasi Internasional Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau ITU menyebut agrkses internet meningkat, tetapi tidak secepat dan merata di seluruh dunia seperti yang dibutuhkan masyarakat.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses internet meningkat, tetapi tidak secepat dan merata di seluruh dunia seperti yang dibutuhkan. Uni Telekomunikasi Internasional Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau ITU melalui laporan Facts and Figures terbaru, menyampaikan, di awal tahun 2022 masih terdapat 2,7 miliar orang atau sepertiga dari populasi global belum terkoneksi internet.
Harga rata-rata global layanan pita lebar telekomunikasi seluler turun dari 1,9 persen menjadi 1,5 persen rata-rata pendapatan nasional bruto per kapita. Namun, untuk konsumen di sebagian besar negara berpenghasilan rendah, harga layanan pita lebar jaringan telekomunikasi seluler ataupun jaringan tetap masih relatif dianggap mahal.
Sekretaris Jenderal ITU Houlin Zhao, dalam siaran pers yang dikutip Jumat (2/12/2022), mengatakan, situasi ekonomi global saat ini yang ditandai inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, dan ketidakpastian yang mendalam dapat menambah tantangan untuk memperluas jangkauan internet di daerah berpenghasilan rendah. Menurut dia, seluruh pemerintah dan pelaku industri perlu menjaga agar pembangunan keterjangkauan internet tetap bisa berjalan optimal.
Dalam laporan Facts and Figures ITU, paket data seluler di sejumlah negara berpenghasilan rendah ditemukan menelan biaya hingga 9 persen dari pendapatan rata-rata warga. Hal ini sebenarnya sudah sedikit menurun dibanding tahun 2021, tetapi tetap berkali-kali lipat lebih besar daripada biaya layanan serupa di negara-negara berpenghasilan tinggi.
Universalitas akses internet didefinisikan sebagai lebih dari 95 persen penggunaan internet. Di negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, universalitas akses internet seperti itu telah tercapai di antara kelompok usia 15-24 tahun. Sementara di negara berpenghasilan rendah, baru 39 persen kelompok usia 15-24 tahun mendapat akses internet.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, saat dihubungi, berpendapat, persoalan di Indonesia bukan hanya ketersediaan, tetapi juga kecepatan layanan internet. Beberapa hasil studi yang ia ketahui pernah membeberkan bahwa kecepatan layanan internet di Indonesia hanya sedikit di atas Kamboja. Padahal, Kamboja belum terlalu lama membangun infrastruktur jaringan pita lebar.
“Cara pandang terhadap pembangunan infrastruktur jaringan akses internet seharusnya adalah menyediakan akses bagi semua rakyat, bukan dengan cara pandang “proyek”, yang artinya ada cuan di dalamnya. Tujuan akhir pendekatan seperti itu bisa menggerakkan masyarakat menjadi semakin sejahtera,” ujar Heru.
Persoalan lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah keterjangkauan tarif layanan internet. Heru menyampaikan, isu yang berkembang menunjukkan tarif sudah relatif murah. Namun, realitanya tidak ada kepastian data yang bisa membuktikan hal itu. Pemerintah seharusnya turut menghitung ongkos produksi penggelaran jaringan sehingga muncul kebenaran sejauh mana tarif internet dikatakan murah atau tidak.
“Tarif murah memang menguntungkan warga sebagai konsumen, tetapi jika terlalu murah akan membuat operator telekomunikasi ataupun penyelenggara jasa internet tidak bisa berinvestasi kembali,” imbuh Heru.
Sementara itu, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung Ian Josef berpendapat, operator telekomunikasi seluler yang telah mengantongi izin frekuensi nasional seharusnya wajib membangun infrastruktur secara merata. Hal seperti ini yang perlu diawasi oleh pemerintah.
“Apabila ingin ada percepatan transformasi digital, maka layanan akses internet menggunakan satelit atau VSAT seharusnya turut diutamakan untuk daerah pelosok,” kata Ian.