Operasionalisasi Pemancar Jaringan 4G Belum Sesuai Target
Ada beberapa penyebab keterlambatan pembangunan dan operasionalisasi menara pemancar 4G LTE di 4.200 desa 3T, seperti pandemi Covid-19 yang berdampak ke rantai pasok material dan proses pengerjaan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua menara pemancar jaringan 4G yang pembangunannya menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika di 4.200 desa siap beroperasi. Hingga tenggat Maret 2022, menara pemancar jaringan 4G yang beroperasi baru ada di 1.791 desa. Dari 4.200 desa sasaran tersebut, semuanya ada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T.
”Ada beberapa penyebab keterlambatan pembangunan dan operasionalisasi menara pemancar 4G LTE di 4.200 desa 3T, seperti pandemi Covid-19 yang berdampak ke rantai pasok material dan proses pengerjaan. Lalu, ada faktor masalah keamanan, terutama di wilayah Papua. Di sana, aparat kepolisian bahkan sempat mengeluarkan imbauan untuk menghentikan seluruh proses pembangunan menara pemancar,” ujar Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile/Backhaul Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika Feriandi Mirza, Minggu (3/4/2022), di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2021, sebanyak 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan jaringan 4G. Dari jumlah itu, 9.113 desa ada di wilayah 3T yang pembangunan infrastrukturnya menjadi tanggung jawab Bakti Kemkominfo sampai 2022. Adapun 3.435 desa sisanya termasuk desa nonkomersial yang pembangunan infrastrukturnya menjadi tanggung jawab operator telekomunikasi seluler.
Dari 9.113 desa yang menjadi tanggung jawab Bakti, sebanyak 4.200 desa menjadi prioritas pembangunan menara pemancar jaringan 4G yang diharapkan rampung pada Maret 2022. Dari 4.200 desa prioritas, masih ada 2.409 desa yang belum dibangun menara pemancar jaringan 4G. Bakti menyebut akan menuntaskan pembangunan di 2.409 desa tersebut tahun ini.
”Material dan perangkat pemancar sebenarnya sudah berada di area (di 2.409 desa). Sebagian besar bahkan sudah berada di titik lokasi pembangunan di desa tujuan,” kata Feriandi.
Sementara itu, praktisi kebijakan publik Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, berdasarkan kajian terhadap proyek pembangunan menara pemancar 4G Bakti Kemkominfo, total pembiayaan APBN yang dikeluarkan mencapai Rp 9,5 triliun (tidak termasuk Papua dan Papua Barat). Sementara penegakan menara di wilayah itu baru mencapai 51 persen per Maret 2022.
”Bakti Kemkominfo sebagai pengendali proyek harus memastikan bahwa konsorsium bekerja dengan benar. Jangan sampai melakukan berita acara serah terima barang yang statusnya tidak clear and clean,” ujar Ahmad.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2021, sebanyak 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan jaringan 4G.
Dampak masyarakat
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno mengatakan, hal yang perlu disorot dari keterlambatan pembangunan proyek infrastruktur telekomunikasi Bakti Kemkominfo adalah dampak yang dirasakan masyarakat desa di wilayah 3T. Menurut dia, masyarakat di desa-desa tersebut saat ini amat memerlukan akses telekomunikasi yang lancar di tengah pandemi Covid-19.
”Akses komunikasi yang lancar akan mempermudah komunikasi dengan banyak pihak atau dengan dunia luar yang terbatas akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat,” ucap Sarwoto.
Hal yang sama disampaikan Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi. Menurut dia, keterlambatan pembangunan menara pemancar untuk desa di wilayah 3T harus didalami secara utuh penyebab satu dengan lainnya. Proyek tersebut merupakan proyek strategis nasional sehingga sudah seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencari solusi atas keterlambatan itu.
”Terhambatnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi terdiri atas berbagai faktor penyebab. Berbagai kasus yang pernah terjadi biasanya bermula dari kontraktor yang menjadi mitra perusahaan telekomunikasi menggunakan subkontraktor sehingga rantai proses kerja menjadi panjang. Kemudian, pada saat proses pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi di lapangan biasanya juga timbul masalah sosial dengan masyarakat setempat,” kata Heru.