Barang Palsu dan Ilegal Rugikan Perekonomian hingga Ratusan Triliun Rupiah
Sejumlah pihak terus mendorong ekosistem paten demi meningkatkan inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan memberantas peredaran barang palsu.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 2020, berdasar data Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan dan Institute for Economic Analysis of Law and Policy Universitas Pelita Harapan, kerugian ekonomi Indonesia akibat peredaran barang palsu dan ilegal mencapai Rp 291 triliun dan potensi kehilangan pajak hingga Rp 967 miliar. Ekosistem paten di Indonesia perlu didorong untuk mencegah pembajakan dan pelanggaran hak cipta.
Tak hanya merugikan secara ekonomi, peredaran barang palsu dan ilegal juga menyebabkan lebih dari 2 juta kesempatan kerja bagi masyarakat hilang.
”Bayangkan, peredaran barang palsu merugikan ekonomi Indonesia hingga Rp 291 triliun. Oleh karena itu, ekosistem paten perlu didorong untuk mencegah penjiplakan dan pembajakan,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Kamis (1/12/2022), di Jakarta.
Menurut Bhima, kesadaran terhadap pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) perlu ditingkatkan di Indonesia karena ada korelasinya dengan pertumbuhan ekonomi. HKI menjadi penting sebagai model pertumbuhan ekonomi baru berbasis inovasi dan transformasi digital. Hal ini baik untuk mengejar indeks inovasi global di posisi 30 tertinggi di dunia dengan mendorong riset serta regulasi pengembangan dan perlindungan HKI.
”Tahun ini, Indonesia masih berada di posisi 75 dunia terkait dengan inovasi. Jika perlindungan terhadap HKI berjalan baik, inovator akan mendapatkan perlindungan terhadap karya dan inovasi yang dihasilkan,” ujar Bhima.
Adapun rasio belanja riset terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia baru mencapai 0,28 persen. Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya, seperti India yang sebesar 0,7 persen.
Koordinator Pemeriksaan Paten Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rani Nuradi mengatakan, kenaikan 10 persen paten pada seluruh sektor industri berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB hingga 1,69 persen. Sementara kenaikan 10 persen paten teknologi yang disetujui mampu berpengaruh pada pertumbuhan PDB sebesar 2,34 persen.
”Kami sedang mendorong ekosistem paten demi meningkatkan riset dan pengembangan di seluruh sektor industri. Biaya riset untuk inovasi itu tidak murah sehingga perlu ada perlindungan HKI agar mencegah juga penjiplakan dan pembajakan,” ujar Rani.
Saat ini Indonesia telah mengabulkan 8.872 permohonan paten. Sektor perdagangan dan jasa keuangan menjadi yang paling banyak mengajukan paten pada 2019 dan 2021, yakni di atas 2.000, dan mengalami penurunan pada 2022 menjadi di bawah 1.500.
Edukasi
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) harus menyelesaikan target 3.000 administrasi HKI serta mengabulkan paten sebanyak 1.000 pada 2024. Target ini masuk dalam agenda pembangunan nasional demi meningkatkan daya saing sektor industri tidak hanya di pasar lokal, tetapi juga luar negeri.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Reni Yanita berpendapat, ekosistem paten perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dalam mewujudkannya, diperlukan peran para pemangku kebijakan.
”Saat ini masyarakat perlu dilibatkan. Masyarakat pelaku usaha perlu diedukasi soal hak paten agar produk mereka dilindungi sehingga tidak mudah dijiplak, dibajak, atau dicuri,” katanya.
Saat ini, yang mungkin dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi para pelaku usaha skala kecil dan menengah, serta usaha rintisan. Masyarakat dapat mendaftarkan merek dan paten secara gratis serta ditanggung pemerintah.
”Selain itu, kita perlu memikirkan cara bagaimana HKI bisa merambah ke ranah teknologi dan informasi (IT) agar ekosistem ini berkelanjutan,” ujar Reni.