Pemerintah Akan Teruskan Penyesuaian Regulasi Paten
Pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang salah satunya agar keluar dari status "Priority Watch List" atau negara dengan pelanggaran hak kekayaan intelektual berat.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas mengawasi proses produksi bahan baku obat alami di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). Dexa Grup sejak tahun 2005 berusaha mandiri dari bahan baku farmasi impor melaui obat modern asli Indonesia (OMAI). OMAI merupakan obat-obatan yang bahan bakunya berasal dari alam Indonesia, sehingga mudah didapatkan dan tidak tergantung dengan impor.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah berencana melanjutkan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Revisi ini bertujuan untuk menyesuaikan regulasi tersebut dengan perkembangan hubungan dagang internasional dan pesatnya kemunculan teknologi digital baru.
Sebelumnya, pemerintah lebih dulu mengubah pasal 20 UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Pada pasal itu disebutkan, pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Pembuatan produk atau proses harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi, ataupun penyediaan lapangan kerja. Ketentuan ini berarti pemegang paten, apabila telah mengantongi paten, harus membuat pabrik di Indonesia.
Ketentuan tersebut telah diubah melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur paten wajib dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan paten produk, paten proses, dan paten metode selalu dibagi tiga opsi, yakni membuat, mengimpor, atau lisensi.
Perubahan itu salah satunya dipicu oleh status Priority Watch List (PWL) yang diberikan oleh Wakil Perdagangan Amerika Serikat atau USTR. Status PWL berarti Indonesia dinilai termasuk negara yang punya pelanggaran hak kekayaan intelektual cukup berat.
Indonesia sudah mengantongi status PWL bertahun-tahun. Indonesia hanya sekali terbebas dari status itu, yakni pada tahun 2006. Selain masalah penegakan hukum atas kasus pembajakan dan barang palsu yang dinilai masih lemah, kebijakan wajib lokalisasi manufaktur Indonesia terhadap invensi barang yang telah mengantongi paten dinilai memberatkan industri, terutama sektor industri farmasi.
Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) Dede Mia Yusanti saat dihubungi Minggu (19/9/2021), di Jakarta, mengatakan, perubahan pasal 20 yang dimasukkan di UU Cipta Kerja telah mempertimbangkan ketentuan perjanjian multilateral hak kekayaan intelektual WTO atau TRIPS yang intinya melarang diskriminasi produksi barang dilakukan pada lingkup lokal ataupun impor. Pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan kebijakan negara-negara lain yang lebih dulu menerapkan fleksibilitas lokalisasi hasil paten.
"Jauh sebelum ada gagasan omnibus law, kami sebenarnya telah berencana merevisi UU No 13/2016. Pasal 20 yang jadi keluhan itu dimasukkan dulu di UU Cipta Kerja. Lalu, kami tetap meneruskan revisi, karena ada sejumlah penyesuaian yang harus dibuat, baik berkaitan dengan pelayanan, proses pemeriksaaan paten, maupun kecepatan kemunculan teknologi digital baru," ujar Dede.
Dia menyampaikan, saat ini, jumlah permohonan pendaftaran paten dari luar negeri berkisar 60 - 70 persen, sedangkan permohonan dari dalam negeri 30 persen. Kemudian, porsi paten dari pelaku Indonesia yang didaftarkan ke luar negeri masih berkisar dua sampai empat persen. Situasi ini kalah jauh dari negara sesama Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Porsi paten dari tiga negara itu yang didaftarkan ke luar negeri sudah di atas 30 persen.
Jumlah permohonan pendaftaran paten dari luar negeri berkisar 60 - 70 persen, sedangkan permohonan dari dalam negeri 30 persen. Kemudian, porsi paten dari pelaku Indonesia yang didaftarkan ke luar negeri masih berkisar dua sampai empat persen. Situasi ini kalah jauh dari negara sesama Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Porsi paten dari tiga negara itu yang didaftarkan ke luar negeri sudah di atas 30 persen.
Dede mengakui, meningkatkan permohonan paten dalam negeri masih menjadi tantangan, meskipun porsi pengajuan pendaftaran sudah mencapai 30 persen dari total pengajuan. Tantangan berikutnya, hilirisasi atau komersialisasi atas paten dalam negeri yang sudah didaftarkan. Dia mengamati, beberapa perguruan tinggi yang punya paten telah melakukan hilirisasi cukup baik.
Menurut dia, perubahan pasal 20 UU No 13/2016 tidak berpengaruh langsung ke daya saing industri dalam negeri. Faktor pengukur daya saing industri bukan hanya permohonan paten dalam negeri ataupun pendaftaran paten pelaku dalam negeri ke luar negeri.
"Kita harus selalu berpikir inovasi bisa datang dari dalam negeri, seperti perguruan tinggi dan pelaku industri dalam negeri. Lalu, paten kan bisa saja produk teknologi sederhana yang tidak harus mendirikan pabrik," kata dia.
Dede mengatakan, setelah penyesuaian regulasi melalui revisi ini, Indonesia tidak lagi dikejar-kejar status PWL. Harapan lainnya, pelayanan pendaftaran dan pemeriksaan paten lebih sesuai ketentuan internasional dan tren teknologi baru.
Dalam survei Global Innovation Index (GII) 2020 yang dikerjakan oleh Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization, Indonesia berada di rangking 85 dari 131 negara. Rangking ini tidak berubah sejak tahun 2018. Indonesia memperoleh skor tinggi di empat dari tujuh pilar penilaian GII, seperti pilar infrastruktur. Tiga pilar lainnya yang diteliti GII, Indonesia malah memperoleh skor di bawah rata-rata, seperti pilar sumber daya manusia dan penelitian.
Dalam Global Intelectual Property Index tahun 2020, Indonesia berada di urutan ke-46 dari 53 negara. Beberapa kelemahan Indonesia yang disorot yaitu persyaratan lokalisasi di UU No 13/2016 serta hambatan signifikan untuk lisensi dan komersialisasi aset hak kekayaan intelektual, termasuk transfer teknologi.
Sumber: Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yoyong Arfiadi (ketiga dari kanan) mewakili perguruan tingginya menerima penghargaan yang diberikan oleh Museum Rekor Indonesia, tentang pencatatan hak kekayaan intelektual, dalam rangka dies natalis ke-54 Universitas Atma Jaya Yogyakarta, di Yogyakarta, Jumat (27/9/2019). Perguruan tinggi tersebut mampu mendaftarkan 174 hak kekayaan intelektual dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, pada September ini.
Bentuk teknologi
Penasihat Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rivai Kusumanegara berpendapat, pemerintah semestinya memilah dulu bentuk/wujud teknologi dan tidak serta merta mengubah pasal 20 UU No 13/2016. Pemerintah Indonesia juga perlu melindungi konsumen dalam negeri.
Dia lantas mencontohkan komponen teknologi untuk kendaraan dan gawai. Produk seperti ini banyak dibutuhkan oleh konsumen sehingga semestinya diproduksi oleh pabrik di dalam negeri.
"Jadi, perspektifnya pemerintah semestinya tidak melulu berkaitan dengan TRIPS (WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights atau perjanjian multilateral terkait hak kekayaan intelektual) saja. Indonesia memang cenderung negara pasar, oleh karena itu pemerintah perlu hadir melindungi masyarakat konsumen," ujar dia.
Di sisi lain, perubahan pasal 20 UU No 13/2016 juga bisa menggeliatkan industri pemegang paten dalam negeri. Mereka punya peluang semakin besar untuk bersaing dengan produk-produk paten impor yang biasanya terdapat beban biaya lebih, kendala waktu ekspedisi, dan pendistribusian.
"Mereka bisa memanfaatkan penawaran kemudahan atau insentif investasi pemerintah Indonesia agar industri mereka tumbuh optimal. Apabila ditelaah, UU No 11/2020 kan bukan melulu menyangkut paten," imbuh Rivai.
Rektor IPB University Arif Satria saat dihubungi terpisah, berpendapat, semangat UU No 13/2016 adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jika ketentuan pasal 20 UU No 13/2016 diubah, itu akan menimbulkan kekhawatiran produk impor masuk lebih banyak ke Indonesia.
"Apabila produksi barang paten dilakukan oleh pabrik di Indonesia, ada peluang pengembangan baru yang bisa diambil dari invensi lembaga riset atau universitas," ujar dia.
Apabila produksi barang paten dilakukan oleh pabrik di Indonesia, ada peluang pengembangan baru yang bisa diambil dari invensi lembaga riset atau universitas.
Meski demikian hal itu kembali kepada kondisi masing-masing perguruan tinggi. Invensi sangat tergantung dari jumlah riset/penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Dengan skema penelitian terapan, misalnya, keluaran invensi yang dipatenkan biasanya memiliki jumlah tidak besar.
Selama masa pandemi Covid-19, dia mengamati, secara umum, jumlah permohonan paten dari kampus sedikit menurun. Proses pendaftaran paten tidak terkendala karena kini telah berkembang sistem pengajuan pendaftaran secara daring.
Hilirisasi produk paten dari perguruan tinggi tidak mudah. Apalagi, saat ini seluruh negara di dunia menghadapi pandemi Covid-19. Arif mengatakan, sebagian besar dari hasil riset perguruan tinggi yang telah dipatenkan sebelum pandemi masih perlu pengembangan akhir dan belum bisa dilakukan peningkatan skala ekonomi (scale up) oleh industri.