Kisruh Terus Terjadi, Butuh Penetapan Upah Minimum yang Lebih Adil
Penetapan upah minimum sebenarnya bisa mengacu pada panduan internasional dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses penghitungan dan penetapan upah minimum tahun 2023 tidak juga menemukan titik terang. Terakhir, sejumlah kelompok pengusaha berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung, yang ditentang keras kalangan serikat buruh. Untuk menghindari kisruh yang terus terjadi setiap tahun, perlu penghitungan upah minimum yang adil dan diterima semua pihak.
Analis Indonesia Labor Institute Rekson Silaban mengatakan, penetapan upah minimum sebenarnya bisa mengacu pada panduan internasional dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang dikenal dengan “Minimum Wage Fixing Recommendation, 1970 (No 135)”. Salah satu substansi penting dalam panduan itu adalah penghitungan dan penetapan upah minimum harus dilakukan melalui konsultasi dengan aktor hubungan industrial, baik secara bipartit maupun tripartit.
“Jadi, penetapan upah minimum tidak bisa ditetapkan sendiri oleh pemerintah karena akan memancing reaksi pihak yang merasa dirugikan, yang kemudian bisa menggugat ke pengadilan,” ujar dia saat dihubungi Kamis (25/11/2022), di Jakarta.
Menurut Rekson, sebagai negara dengan ekonomi menengah, Indonesia sebenarnya terlalu lama keluar dari kisruh proses penetapan upah minimum. Negara yang setara, seperti Brasil, Argentina, Meksiko, India, dan China, sudah selesai berkutat soal mekanisme penetapan upah minimum. Mereka mengikuti panduan ILO. Panduan “Minimum Wage Fixing Recommendation, 1970 (No 135)” dibuat berdasarkan pengalaman internasional, bukan karena kepentingan politik upah murah ataupun keberpihakan ke pengusaha atau pekerja.
Indonesia tidak kunjung mendapatkan pola yang tepat dan adil. Padahal, upah minimum merupakan masalah paling dasar yang seharusnya sudah lama selesai.
Lebih jauh, dia berpendapat, Indonesia sebaiknya memilih penetapan upah minimum dengan dua model. Untuk perusahaan skala menengah dan besar, upah minimum ditetapkan secara bipartit atau berunding di tingkat perusahaan. Pemerintah tinggal menetapkan standar prosedur perundingan.
Sementara terkait upah minimum di lingkup usaha mikro, kecil, dan informal, dia memandang, pemerintah bisa menetapkan upah minimum sebagai upah jaring pengaman. Dalam konteks ini, proses perundingan bipartit relatif tidak mungkin terjadi sehingga pemerintah harus turun tangan.
“Ya, Indonesia seharusnya memiliki dua formula karena dualisme pasar kerja kita yang mayoritas informal,” imbuh Rekson.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi B Sukamdani, saat dikonfirmasi, membenarkan pihaknya berencana mengajukan uji materi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, Apindo sudah beberapa kali menolak adanya perubahan peraturan penetapan upah minimum tahun 2023 sebelum Permenaker No 18/2022 terbit.
Kenaikan upah minimum yang relatif tinggi dia yakini akan berdampak signifikan ke penyerapan tenaga kerja. Sebab, angkatan kerja setiap tahun bertambah sekitar tiga juta orang. Sementara pada saat bersamaan, lebih dari setengah profil angkatan kerja merupakan lulusan sekolah menengah atas ke bawah.
“Saya sudah beberapa kali menyatakan bahwa upah minimum merupakan jaring pengaman sosial yang paling rendah. Jika gaji (upah minimum) paling rendah di DKI Jakarta, misalnya, telah mencapai Rp 5 juta per orang, apa tidak malah membuat pengangguran menggila?” kata dia.
Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dhaniswara K Hardjono, dalam siaran pers, menyampaikan hal senada. Sepanjang Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dalam perbaikan, maka tidak diperkenankan ada penerbitan peraturan pelaksana baru.
Menurut dia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 merupakan salah satu aturan pelaksana UU No 11/2020 yang diterbitkan sebelum adanya putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Maka, keberadaan Permenaker No 18/2022, yang masih memiliki kaitan dengan UU No 11/2020, menimbulkan dualisme dan ketidakpastian hukum. Untuk memastikan agar kebijakan penetapan upah minimum tidak kontraproduktif, Kadin Indonesia bersama Apindo dan seluruh perusahaan anggota Kadin Indonesia “terpaksa” melakukan uji materi Permenaker No 18/2022.
Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Law Firm telah ditunjuk jadi kuasa hukum dari asosiasi pengusaha. Dalam siaran pers tertanggal 25 November 2022, Integrity Law Firm menyatakan asosiasi pengusaha itu terdiri dari Apindo, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Lalu, Perkumpulan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (Hippindo), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Masalah
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, saat konferensi pers, menilai, langkah pemerintah menerbitkan Permenaker No 18/2022 tidak bertentangan dengan regulasi yang ada. Sebab, hanya satu pasal dalam PP No 36/2021 yang diubah dan diturunkan menjadi Permenaker No 18/2022. Sementara pasal-pasal lain yang tercantum dalam PP No 36/2021 tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, pihaknya menganggap sumir keinginan sejumlah kelompok pengusaha mengajukan uji materi Permenaker No 18/2022 ke Mahkamah Agung.
Saat dihubungi terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban berpendapat, berapapun kenaikan upah minimum provinsi akan selalu menjadi masalah baik bagi pekerja maupun pengusaha. Dia beranggapan, pemerintah membuat peraturan bukan asal memutuskan tetapi penuh pertimbangan, termasuk Permenaker No 18/2022.
“Apabila pengusaha tidak setuju dan menggugat, mereka seharusnya menunjukkan alasan dan kondisi keuangan secara transparan. Kami menyambut baik keberadaan Permenaker No 18/2022, walaupun kami relatif tidak puas. Meski demikian, substansi Permenaker No 18/2022 lebih baik dibanding PP No 36/2021,” ujarnya.
Elly menambahkan, pihaknya berharap pemerintah segera membuat aturan upah minimum yang adil. Tujuannya mencegah kisruh yang hampir terjadi setiap tahun.