Pemerintah Didesak Segera Ratifikasi Konvensi ILO 190
Pemerintah didesak agar segera meratifikasi Konvensi ILO 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Hal itu dinilai perlu agar mekanisme penyelesaian kekerasan semakin adil.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkungan kerja dinilai menjadi salah satu tempat berulangnya kejadian kekerasan dan pelecehan berbasis gender atau gender bassed violence/GBV. Namun, sejauh ini belum ada regulasi yang memadai. Pemerintah didesak untuk segera meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
“Indonesia termasuk negara yang setuju Konvensi ILO 190, tetapi pemerintah belum kunjung meratifikasi. Padahal, Konvensi ILO 190 bertujuan baik, yaitu pihak-pihak dalam dunia kerja (hubungan tripartit) memiliki kewajiban menciptakan dunia kerja yang inklusif,” ujar Program Manajer Perempuan Mahardika Vivi Widyawati dalam diskusi Mendorong Terciptanya Dunia Kerja Bebas dari GBV di Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Vivi mengatakan, Konvensi ILO 190 berisi detail rekomendasi kewajiban pengusaha dan negara untuk menyediakan dunia kerja yang aman dan inklusif bagi pekerja. Ketika mengalami kekerasan dan pelecehan, misalnya, pekerja seharusnya mendapatkan dukungan hukum dari pemerintah.
“Kekerasan bisa berdampak ke kesehatan, status kerja, dan menghambat seseorang mengakses kerja layak,” kata Vivi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, tempat kerja termasuk tiga besar lokasi terjadinya kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender di tempat kerja bukan hanya dialami pekerja di lingkup perusahaan swasta dan pabrik, tetapi juga di institusi pemerintahan dan lembaga nonpemerintah.
Tempat kerja termasuk tiga besar lokasi terjadinya kekerasan berbasis gender
Arif sepakat bahwa ratifikasi Konvensi ILO 190 harus dilakukan. Sebab, di dunia, Konvensi ini telah menjadi solusi keadilan gender di tempat kerja. Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Indonesia tetap perlu meratifikasi agar mekanisme penyelesaian kekerasan semakin adil.
“Permasalahan penyelesaian kekerasan berbasis gender di tempat kerja itu kompleks. Selain kultur patriarki, kami menjumpai ada masalah kultur institusi tempat kerja yang susah diubah,” ujar Arif.
Deputi Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Dian Septi membenarkan pernyataan Arif. Kekerasan yang dialami pekerja bisa berlapis. Artinya, jenis kekerasan satu dengan lain bisa saling berkelindan dan dialami bersamaan oleh pekerja.
“Apalagi di era situasi kerja yang semakin fleksibel karena dipengaruhi tren teknologi digital. Kekerasan semakin mudah terjadi. Padahal, buruh dan pekerja mencari kesejahteraan yang bukan hanya dalam artian kenyang, tetapi juga social well being,” kata Dian.
Koordinator Perlindungan Pekerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Erik Sinambela mengatakan, Kemenaker telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2011 terkait Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. SE ini mengimbau setiap perusahaan membentuk komite gender yang bisa dipakai untuk mencegah kekerasan berbasis gender di tempat kerja.
Akan tetapi, realitanya, belum semua perusahaan membentuk. Kalaupun sudah ada yang memiliki komite gender, dia menemukan ada perusahaan yang sekadar membentuk, tetapi tidak ada upaya pencegahan kasus.
Dia mengatakan, Kemenaker ingin menaikkan status SE Nomor 3/2011 menjadi peraturan menteri. Harapannya, ketika telah jadi peraturan menteri bisa menjadi peraturan pelaksana dari UU Nomor 12/2022. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pun sebenarnya telah mengatur beberapa jenis pengaturan kekerasan seksual. Namun, cakupannya sangat terbatas, termasuk di lingkup kerja.