Industri manufaktur berbasis ekspor, impor, dan padat karya membutuhkan insentif pajak dan perpanjangan restrukturisasi kredit. Mereka tengah menghadapi krisis pasar, pembengkakan biaya produksi, dan mengurangi pekerja.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada akhir tahun ini dan tahun depan, sejumlah industri manufaktur berbasis ekspor, impor, dan padat karya menghadapi tantangan pelemahan ekspor, depresiasi rupiah, serta kenaikan suku bunga kredit perbankan dan upah buruh. Oleh karena itu, industri-industri itu membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus, seperti pemberian insentif pajak dan perpanjangan restrukturisasi kredit.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengatakan, pelemahan ekonomi sejumlah negara tujuan utama ekspor Indonesia dan depresiasi rupiah berpengaruh besar terhadap sejumlah industri manufaktur Indonesia. Hal itu terutama terjadi pada sejumlah industri yang berorientasi pada ekspor dan industri berbahan baku impor yang berorientasi pada pasar domestik.
”Sejumlah industri itu antara lain adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, karet, furnitur, dan petrokimia. Industri-industri tersebut juga banyak menyerap tenaga kerja,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (7/11/2022).
Dendi mencontohkan, pelemahan ekonomi di Amerika Serikat yang merupakan pasar tujuan utama ekspor Indonesia mulai berdampak ke industri TPT. Importir dari negara tersebut mulai banyak yang menunda dan membatalkan pesanan untuk tiga hingga enam bulan ke depan.
Hal itu pernah terjadi di saat krisis ekonomi di AS pada 2008-2009. Waktu itu, ekspor TPT Indonesia ke AS tumbuh minus 13,5 persen. Adapun dalam konteks saat ini, nilai ekspor TPT Indonesia ke AS masih tumbuh. Namun, pertumbuhan ekspor itu merupakan hasil dari kontrak pembelian pada beberapa bulan sebelumnya.
”Jadi sebenarnya kurang pas jika membandingkan kondisi industri TPT sekarang dan tantangannya ke depan dengan data ekspor sebelumnya,” kata Dendi.
Nilai ekspor TPT Indonesia ke AS masih tumbuh. Namun, pertumbuhan ekspor itu merupakan hasil dari kontrak pembelian pada beberapa bulan sebelumnya.
TradingEconomics mencatat, ekonomi AS pada triwulan III-2022 tumbuh 2,6 persen secara tahunan. Kontribusi terbesar berasal ekspor yang tumbuh 14,4 persen, sedangkan pertumbuhan impornya turun menjadi 6,9 persen. Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur AS juga turun dari 52 pada Agustus 2022 menjadi 50,4 pada Oktober 2022.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perdagangan, tren nilai ekspor TPT Indonesia ke AS pada periode 2017-2021 tumbuh 1,47 persen. Pada Januari-Agustus 2022, nilai ekspornya mencapai 4,17 miliar dollar AS atau tumbuh 34,04 persen dibandingkan periode sama 2021.
Hal itu, kata Dendi, baru dilihat dari pelemahan pasar utama ekspor TPT. Industri tersebut juga banyak mengimpor bahan baku. Dalam kondisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS, biaya pembelian bahan baku industri tersebut pasti akan membengkak.
”Belum lagi ditambah dengan biaya lain, seperti upah pekerja. Inflasi tinggi pasti akan berpengaruh pada kenaikan upah pekerja,” katanya.
Dendi berharap, pemerintah benar-benar memberi perhatian dan perlakuan khusus terhadap industri-industri berbasis padat karya, ekspor, dan impor yang terkena empat pukulan sekaligus, yakni pelemahan ekonomi global, depresiasi rupiah, serta kenaikan bunga bank, dan upah pekerja. Perlakuan khusus yang diberikan bisa seperti pada saat pandemi Covid-19, yakni insentif pajak dan restrukturisasi kredit.
”Otoritas Jasa Keuangan bisa memperpanjang masa restrukturisasi kredit yang bakal berakhir pada Maret 2023 bagi industri-industri manufaktur tersebut,” kata Dendi.
OJK bisa memperpanjang masa restrukturisasi kredit yang bakal berakhir pada Maret 2023 bagi industri-industri manufaktur tersebut.
Masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan dalam program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berlangsung pada 31 Maret 2022 hingga 31 Maret 2023. Hingga saat ini, OJK masih belum memutuskan untuk mengakhiri atau memperpanjang restrukturisasi kredit tersebut.
Pada 3 November 2022, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan, masa restrukturisasi kredit masih berlanjut hingga 31 Maret 2023. Sembari program itu berjalan, OJK akan menganalisis secara intensif serta melihat respons dan kebutuhan sektor-sektor yang masih membutuhkan. OJK juga akan menyelaraskan kebijakan dengan tetap mempertimbangkan dinamika global dan domestik yang diperkirakan akan menghadapi gejolak di 2023.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, pasar ekspor TPT, terutama AS, kian melemah sejak triwulan III-2022. Hal itu ditandai dengan penundaan permintaan pengiriman produk hingga awal 2023.
Tak hanya itu, industri TPT juga tengah menghadapi lonjakan biaya pembelian bahan baku impor akibat depresiasi rupiah. Ke depan, industri TPT akan kembali tertekan dengan kenaikan suku bunga kredit perbankan dan kenaikan upah pekerja.
”Selama Januari-September 2022, sejumlah pabrik berhenti beroperasi dengan pemutusan hubungan kerja mencapai 70.000 orang,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono, Senin, mengatakan, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional pada Agustus 2021 hingga Agustus 2022, terjadi pengurangan tenaga kerja industri TPT sekitar 50.000 orang. Jumlah tenaga kerja di industri TPT pada Agustus 2022 sebanyak 1,08 juta orang atau turun dari 1,13 juta pekerja pada Agustus 2021.