Jelang Musim Dingin, Permintaan Batubara di Eropa Menurun
Harga batubara menurun akibat kekhawatiran krisis energi jelang musim dingin mulai mereda di Eropa. Selain itu, ada risiko penurunan level produksi dan revisi pandangan ekonomi di negara maju memicu pelemahan harga.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya harga bahan bakar fosil menyebabkan permintaan minyak dan juga gas di kawasan Eropa turun, terutama di rumah tangga dan sektor industri. Di saat yang bersamaan, pertumbuhan kapasitas tenaga surya telah menghasilkan pembangkitan tambahan yang substansial. Kondisi di Eropa tersebut turut berdampak pada merosotnya harga batubara acuan atau HBA di Indonesia.
Mengutip data laman tradingeconomics, harga minyak mentah jenis Brent di kisaran 96,45 dollar AS per barel dan harga gas alam 6,11 dollar AS per MMBTU. Sementara harga batubara di laman tersebut tercatat sebesar 354 dollar AS per ton.
Berdasarkan laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Kamis (3/11/2022), peningkatan pasokan listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan menjadi salah satu penyebab emisi CO2 di Uni Eropa turun pada periode Agustus-Oktober 2022. Produksi listrik pembangkit berbasis tenaga surya dan angin tercatat naik 58 terawatt jam (TWh), lebih tinggi 16 persen dibanding pada 2021.
Hal ini berdampak pada HBA bulan November 2022 yang turun sebanyak 22,77 dollar AS per ton atau 7,39 persen. Sebelumnya, HBA untuk periode Oktober 2022 tercatat sebesar 330,97 dollar AS per ton. Namun, HBA pada November 2022 turun menjadi 308,2 dollar AS per ton.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, harga batubara mulai menurun akibat kekhawatiran krisis energi jelang musim dingin mulai mereda di kawasan Eropa dan Asia. ”Kalaupun ada permintaan batubara, Eropa akan memprioritaskan membeli di Afrika Selatan, bukan Indonesia,” katanya saat dihubungi, Jumat (4/11/2022), di Jakarta.
Adapun faktor lainnya ialah kekhawatiran resesi ekonomi dan melemahnya aktivitas kargo yang tercermin dari koreksi indeks Baltic Dry sebesar 30 persen dalam satu bulan terakhir ke level 1.290. Risiko penurunan level produksi dan revisi pandangan ekonomi di negara maju memicu pelemahan harga batubara. ”Ini bisa menjadi sinyal besar harga komoditas mulai berakhir,” lanjut Bhima.
Selain pasokan gas Eropa yang surplus, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi dalam siaran pers, mengatakan, penurunan HBA secara global dipengaruhi oleh peningkatan produksi batu bara China di saat kondisi perekonomian negara yang melambat.
Agung melanjutkan, terdapat dua faktor turunan lain yang juga turut serta memengaruhi pergerakan HBA, yakni pasokan dan permintaan. Pada faktor pasokan dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara pemasok, hingga sistem distribusi logistik pada moda angkutan, seperti kereta, tongkang, maupun bongkar muat di terminal.
Sementara pada faktor permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti nuklir dan hidro.
“Meningkatnya pasokan gas di Eropa membuat harga gas melandai, kondisi ini berdampak juga pada harga batubara yang ikut merosot,” ucap Agung.