Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon perlu diiringi dengan peta jalan dan kepastian dalam penerapan pajak karbon. Sebab, sampai saat ini pemerintah belum tegas dan terus menunda penerapan pajak karbon.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Foto udara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, awal Oktober 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Aturan tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon menjadi salah satu instrumen dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Namun, penyelenggaraan nilai ekonomi karbon ini juga perlu diiringi dengan peta jalan dan kepastian penerapan pajak karbon sebagai salah satu mekanismenya.
Sebagai upaya mendukung pelaksanaan nilai ekonomi karbon (NEK) di Indonesia, pada 21 September 2022 ditetapkan Peraturan MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan NEK. Peraturan menteri (permen) yang resmi diundangkan pada 20 Oktober 2022 ini sekaligus menjadi aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan NEK.
Peraturan Menteri LHK tentang NEK terdiri dari 12 bab dan 85 pasal. Ketentuan dalam pasal tersebut mengatur tentang tata laksana NEK yang dilakukan penyelenggara mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan pelaporan.
Perdagangan karbon memiliki prinsip perpindahan hak atas karbon dan tidak mengurangi target NDC.
Menanggapi diundangkannya Permen LHK ini, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menyampaikan, penerbitan Permen LHK untuk menerjemahkan Perpres NEK ini sudah kehilangan tujuan utamanya. Sebab, sampai saat ini pemerintah masih menunda penerapan pajak karbon sebagai salah satu mekanisme NEK.
”Dengan penundaan pajak karbon, praktik aturan ini hanya akan menjalankan penerapan carbon trading (perdagangan karbon) dan carbon offset (pengimbangan karbon) yang problematik. Jadi, harus ada peta jalan NEK, termasuk pajak karbon terkait cakupan sektor dan tarifnya yang naik secara bertahap,” ujarnya, di Jakarta, Senin (31/10/2022).
Tata memandang bahwa penetapan Peraturan Menteri LHK ini seolah menjadi upaya perbaikan dari tidak adanya strategi yang jelas dalam melakukan transisi hijau. Hal ini termasuk di dalamnya terkait transisi energi dari energi fosil, terutama dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, ke energi yang lebih bersih dan terbarukan.
”Pemerintah menunda penerapan pajak karbon menjadi tahun depan setelah sempat menunda dua kali tahun ini. Padahal, rencana menerapkan pajak karbon ke PLTU merupakan awal yang tepat dan tarifnya bisa dinaikkan secara bertahap serta diterapkan untuk berbagai sektor pencemar,” tuturnya.
Selain itu, penerapan perdagangan karbon dan pengimbangan karbon ini dinilai bisa menjadi legitimasi bagi sektor pencemar seperti PLTU batubara. Melalui penerapan ini, sektor pencemar bahkan bisa tetap eksis dan menunda percepatan transisi energi.
Dengan penundaan pajak karbon, praktik aturan ini hanya akan menjalankan penerapan carbon trading (perdagangan karbon) dan carbon offset (pengganti kerugian karbon) yang problematik. Jadi, harus ada peta jalan NEK.
Pendiri Environment Institute yang juga dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa menambahkan, sebagai salah satu mekanisme penyelenggaraan NEK, perdagangan karbon perlu berpegang pada dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC). Sebab, perdagangan karbon ditujukan untuk mendukung NDC tahun 2030.
”Perdagangan karbon memiliki prinsip perpindahan hak atas karbon dan tidak mengurangi target NDC. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian terkait perdagangan karbon luar negeri mengingat kita sudah memiliki komitmen penurunan emisi dalam NDC,” ucapnya menegaskan.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Balikpapan di Kalimantan Timur. PLTU yang beroperasi sejak Januari 2017 ini berkapasitas 2 kali 110 MW. PLTU tersebut masih menjadi pembangkit terbesar yang dimiliki PLN di Kaltim dan Sistem Interkoneksi Kalimantan.
Dalam webinar tentang penyelenggaraan NEK pekan lalu, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka mengemukakan, penerapan NEK menjadi salah satu instrumen dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia.
Penyelenggaraan NEK dilaksanakan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Adapun pelaksanaan NEK melalui empat mekanisme meliputi perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon oleh menteri keuangan, dan mekanisme lainnya sesuai perkembangan sains.
”Penerapan nilai ekonomi karbon diharapkan dapat menjadi mekanisme untuk membuataksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lebih efektif, efisien, inklusif, transparan, akuntabel, serta berkeadilan,” ungkapnya.
Selain potensinya besar, Wahyu menyebut penerapan NEK di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan dalam implementasi penyelenggaraannya. Tantangan tersebut meliputi, antara lain, masih diperlukan kolaborasi dari seluruh pihak, penyiapan aturan turunan, dan pembuatan peta jalan implementasi yang lebih rinci.
Tiga tahapan
Analis Kebijakan Ahli Utama Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Joko Prihatno menyatakan, setiap pihak yang ingin menyelenggarakan NEK harus melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Terdapat tiga tahapan dalam penyelenggaraan NEK, yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan, dan pelaporan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Aktivis lingkungan menggelar kampanye Jeda Untuk Iklim yang menyuarakan ancaman krisis iklim bumi di kawasan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, akhir November 2020. Mereka menyerukan komitmen serius dari pemerintah dan pelaku industri dalam bertanggung jawab menangani dampak perubahan iklim yang terus mengancam lingkungan.
Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan, yakni menginventarisasi gas rumah kaca dari tingkat nasional termasuk kementerian/lembaga, provinsi dan kabupaten/kota, termasuk pelaku usaha yang signifikan. Hasil inventarisasi ini digunakan untuk menyusun acuan atau baseline yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan penetapan penurunan emisi di semua sektor.
”Setelah itu barulah dilakukan mitigasi, pemantauan, dan pelaporan yang diverifikasi. Aksi mitigasi yang tidak mengikuti NEK diverifikasi oleh validator berjenjang. Sementara yang mengikuti NEK diverifikasi oleh validator independen,” tuturnya.
Sebagai negara dengan luas area terbesar ketiga di dunia, Joko menekankan bahwa Indonesia berpotensi untuk mendapatkan pembayaran berbasis kinerja dari skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). KLHK mencatat, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi NEK dari luas tutupan hutan sebesar 95 juta hektar.