Korporasi di Tengah Keterbelahan Politik
Fenomena keterbelahan politik terjadi di banyak negara. Di tengah problem ini, perusahaan perlu berperan lebih besar. Saatnya para pemimpin perusahaan ikut mendinginkan suasana menjelang tahun politik yang bakal panas.
Ilustrasi
Sisa perpecahan akibat pemilihan presiden beberapa tahun lalu masih membekas hingga sekarang. Sebuah istilah muncul akibat keterbelahan yaitu cebong dan kampret untuk menunjukkan kubu yang berseteru. Di tengah masalah ini banyak perusahaan yang bingung memposisikan diri. Apalagi Indonesia harus kembali bersiap menghadapi ajang politik 2024. Dimanakah korporasi harus berdiri?
Fenomena keterbelahan terjadi di banyak negara. Kini mereka menghadapi masalah politik yang pelik. Semua urusan selalu dihadapkan pada masalah ini. Ancaman disintegrasi pun menjadi nyata. Akan tetapi, beberapa kalangan mulai memikirkan cara menekan keterbelahan itu. Korporasi menjadi salah satu yang bisa berperan mengurangi ketegangan itu.
Sejumlah ahli yang berurusan dengan peran perusahaan mengatakan, korporasi dapat bekerja lebih jauh berkait dengan demokrasi yang mulai dirongrong. Di dalam artikel Fast Company disebutkan bahwa para CEO harus bisa menangani berbagai hal termasuk bila perlu mirip seperti pemain sirkus yang memiliki sejumlah keterampilan.
Visi yang diperlukan para pengambil keputusan di perusahaan menghadapi situasi ini adalah seperti yang diungkapkan William A Galston dan Elaine Kamarck dari Brooking Institute. Mereka menulis, supremasi hukum dan demokrasi sangat penting bagi pasar. Pasar bebas yang diseimbangkan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, transparan dan cakap, dan masyarakat sipil yang kuat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang stabil dan kesejahteraan sosial yang lebih besar.
Sebaliknya, ancaman terhadap demokrasi adalah ancaman bagi sektor swasta. Itulah sebabnya para pemimpin bisnis dan investor institusional tidak dapat tinggal diam ketika ancaman tersebut muncul. Dalam konteks ini, keterbelahan publik adalah ancaman besar terhadap demokrasi. Kehendak bebas orang bisa tertekan oleh kelompok yang tidak sejalan.
Baca juga: Pasar Kaum Introver
Para ahli menyebutkan, saat ini merupakan kenyataan yang genting dalam politik di mana para CEO perlu melakukan tindakan penyeimbangan yang semakin sulit. Mereka tidak cukup untuk sekadar menjalankan bisnis tetapi juga memiliki pemahaman politik dan melakukan langkah yang memadai. Selama ini mereka sudah melakukannya ketika berhadapan dengan para aktivis dan juga politisi yang rewel dalam banyak hal.
Meski demikian saat ini mereka harus bertindak lebih dari sekadar paham politik. Masalah tidak hanya sebatas pada tekanan-tekanan kelompok semata. Di Amerika Serikat dampak yang lebih jauh adalah persepsi publik. Seperti dikutip dalam Fast Company, sebanyak tiga dari lima orang di negara itu percaya bahwa demokrasi di negara itu bakal gagal total. Artinya eksistensi negara itu sangat rapuh. Kita bisa membayangkan ketika mayoritas publik memiliki kepercayaan yang sangat rendah terhadap eksistensi negaranya.
Beberapa perusahaan di negara itu telah menghentikan dana ke sejumlah politisi yang menuduh pemilu 2020 curang dan berusaha membatalkannya. Akan tetapi tidak sedikit perusahaan yang masih main mata dengan mereka. Beberapa perusahaan juga masih berharap akses ke pengambilan keputusan dalam perpajakan dan juga pembuatan aturan. Banyak korporasi yang tidak menyadari dampak jangka panjang dari dukungan yang diberikan itu.
Korporasi mungkin kikuk bersikap di tengah keadaan politik seperti sekarang ini. Akan tetapi, karyawan mereka adalah para pemilih dalam pemilu.
Saran lain yang diberikan adalah para pemimpin perusahaan bertemu secara internal untuk memastikan semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang pemberian dukungan finansial bagi para politisi dan memasang pagar pembatas untuk memastikan mereka tidak mendukung orang yang salah. Mereka perlu menghindari tokoh politik yang memiliki ideologi ekstrem. Perusahaan perlu mengidentifikasi tokoh-tokoh yang selalu mempolarisasi pemilih dan tidak memberikan dukungan finansial bagi mereka.
Korporasi mungkin kikuk bersikap di tengah keadaan politik seperti sekarang ini. Akan tetapi, karyawan mereka adalah para pemilih dalam pemilu. Oleh karena itu sikap mereka juga menentukan. Saran lain dari tulisan di Brooking Institute adalah keterlibatan sektor swasta yang berkelanjutan dalam pembelaan demokrasi sangat penting bagi demokrasi dan untuk bisnis mereka sendiri.
Baca juga: Kisah Pakaian Tidur
Seperti yang dinyatakan dalam laporan lembaga pemikir isu-isu internasional Chatham House baru-baru ini yang menyebutkan, bisnis harus mengakui kepentingannya sendiri dalam ruang bersama, seperti menghormati aturan hukum, pemerintahan yang akuntabel, dan kebebasan sipil. Lembaga bisnis memiliki tanggung jawab, baik untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat, untuk mendukung pilar yang menguntungkan dan berkelanjutan. Di sini mereka harus berprinsip bahwa demokrasi harus tetap berdiri.
Masalah keterbelahan politik ditangani tidak saja oleh pemerintah tetapi juga oleh semua kalangan, termasuk kalangan bisnis. Di Indonesia masalah yang sering muncul adalah ketakutan para pengambil keputusan bila terlibat dalam urusan politik maka bisnis mereka akan terdampak. Salah satu yang mungkin diubah dari pandangan ini adalah, langkah politik tidak berarti turun ke jalan dan berteriak-teriak mendukung salah satu calon.
Mereka bisa bersikap untuk tidak memperkeruh keadaan. Mereka juga bisa mengajak karyawan untuk tidak membuat polarisasi di lingkungan perusahaan dan sekitarnya. Mereka perlu mengajak karyawan untuk toleran dan menghargai perbedaan. Saatnya para pemimpin perusahaan ikut mendinginkan suasana menjelang tahun politik yang bakal panas. Kita tidak ingin lagi mendengarkan masalah cebong dan kampret.