Krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina menjadi momentum bagi Indonesia untuk merebut pasar tanaman hias global. Pasalnya, ada kekurangan pasokan tanaman hias karena pelaku usaha Eropa memangkas produksi.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ekspor florikultura atau tanaman hias Indonesia meningkat signifikan sejak pandemi Covid-19. Kendati demikian, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk terus menggenjot ekspor dengan memanfaatkan situasi krisis energi akibat perang Ukraina-Rusia yang menekan pebisnis florikultura di Eropa saat ini. Pengembangan bisnis tanaman hias dalam negeri pun perlu terus dilakukan dengan kolaborasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS), ekspor tanaman hias Indonesia pada tahun 2021 mencapai 20.300 ton. Volume ekspor tersebut meningkat 11,5 persen atau 2.100 ton dibandingkan ekspor tahun 2020. Sementara itu, nilai ekspor pada 2021 tercatat 21,9 juta dollar AS atau meningkat 10 persen dibandingkan dengan 19,9 juta dollar AS pada 2020.
Menurut Direktur Jenderal Holtikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto, peningkatan ekspor juga tampak pada tahun ini. Hal itu dilihat dari tingginya jumlah Surat Izin Pengeluaran (SIP) yang diajukan kepada Kementerian Pertanian. Pada 26 Oktober 2022 saja, kata Prihasto, pihaknya sudah menandatangi permintaan ekspor dari 37 perusahaan.
“(Pada 26 Oktober 2022) Nilai ekspornya mencapai Rp 17 miliar. Tujuannya ke mana saja? Beragam. Ada Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Polandia, Belanda, China, Arab Saudi, hingga Irak,” kata Prihasto Setyanto dalam acara penandatanganan kerja sama PT Santini Mitra Amanah (Indonesia) dengan Alma Del Bosque (Kolombia) dalam budidaya anggrek, di Jakarta, Senin (31/10/2022).
Prihasto menambahkan, pelaku usaha tanaman hias perlu terus meningkatkan ekspornya, terutama di tengah krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina. Menurut dia, saat ini merupakan momentum bagi pelaku usaha tanaman hias Indonesia untuk merebut pasar global. Terlebih, terjadi kekurangan pasokan tanaman hias setelah banyak pebisnis di Eropa memangkas produksi dan bahkan gulung tikar.
Sejauh ini, menurut data Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Kementerian Pertanian, pasar tanaman hias global dikuasai oleh negara-negara Eropa. Belanda, misalnya, menduduki peringkat nomor satu eksportir tanaman hias pada 2019 dengan penguasaan pasar mencapai 47 persen. Adapun Indonesia hanya berada di peringkat 47, kalah dari Malaysia yang menduduki urutan ke-17 dan Thailand yang menempati peringkat 19.
“Pelaku usaha di Eropa, kan, memerlukan gas dari Ukraina atau Rusia untuk operasional greenhouse-nya. Sementara itu, harga gas naik berkali-kali lipat. Situasi ini harus kita lihat sebagai peluang untuk kita masuk dan merebut pasar global tanaman hias,” ujar Prihasto.
Untuk urusan ekspor, Prihasto meminta para pelaku bisnis tidak mengkhawatirkan regulasi. Dia memastikan bahwa pihaknya akan memudahkan para pelaku bisnis. Selama bukan tanaman yang dilindungi, pengajuan ekspor akan cepat diproses.
Direktur Utama PT Santini Mitra Amanah, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan anggrek, Rianti S Wanandi, menekankan, pengembangan bisnis tanaman hias dalam negeri juga perlu didorong. Caranya dengan menciptakan bibit-bibit unggul dengan harga terjangkau agar petani tidak lagi mengandalkan bibit impor.
“Hampir 100 persen petani anggrek memakai bibit impor. Mereka tidak mau cari risiko. Padahal, bibit impor lebih mahal dan sulit didapatkan. Maka dari itu, penting pengembangan dalam negeri dengan menghasilkan bibit berkualitas agar kita juga bisa maju dalam bisnis ini,” ujar Rianti.
Agar menciptakan bibit unggul tersebut, kata Rianti, pelaku bisnis perlu melakukan kolaborasi. Hal itu yang dilakukan perusahaannya lewat kerja sama dengan perusahaan budidaya anggrek asal Kolombia, Alma Del Bosque. Perusahaan tersebut memiliki lebih dari 5.000 spesies dari total 15.000 kelas anggrek di dunia.
Dari Alma Del Bosque, PT Santini Mitra Amanah akan belajar teknik perbanyakan bibit, teknik penanaman, hingga pemasaran bibit. Harapannya, selain menciptakan bibit unggul, kolaborasi kedua perusahaan menghasilkan jenis-jenis anggrek baru yang dapat dikenalkan ke pasaran dan memiliki kualitas setara dengan taraf internasional.
Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia Hesti Widayani, dalam acara yang sama, berharap kolaborasi kedua perusahaan itu dapat memantik pelaku usaha lain untuk melakukan hal yang sama. Sebab, kata Hesti, kolaborasi penting untuk transfer pengetahuan soal budidaya tanaman hias.
Hesti juga mengatakan, pengembangan bisnis tanaman hias penting dilakukan karena sektor ini selalu prospektif. Pasalnya, tanaman hias punya manfaat dari sisi estetis maupun praktis. “Tanaman hias meningkatkan produktivitas kerja di kantor sampai 35 persen. Tanaman hias, terutama bunga, juga selalu dekat dengan manusia. Sejak manusia lahir, menikah, hingga meninggal dunia,” ujarnya.
Dia berharap, pemerintah terus mendukung bisnis tanaman hias dengan menetapkan regulasi yang tidak memberatkan pelaku usaha. Sementara itu, secara terpisah, CEO perusahaan tanaman hias Minaqu Indonesia, Ade Wardhana, meminta pemerintah menumbuhkan kesadaran masyarakat soal tanaman hias.
Selama ini, kata Ade, masyarakat menganggap tanaman hias sebagai bisnis musiman. Alhasil, industri tanaman hias kurang berkembang dan harga produknya menjadi mahal. "Pemerintah bisa memulai membangun kesadaran dengan menggunakan tanaman hias asli, bukan artifisial, di kantor-kantornya," tutur Ade.