Belanja Pemerintah Belum Berkualitas, Regsosek Diharapkan Cegah Inefisiensi
Belanja pemerintah masih menghadapi sejumlah tantangan yang membuatnya kurang berkualitas. Hal itu terlihat dari belum selarasnya besaran alokasi anggaran untuk sejumlah layanan pokok dengan hasil akhir yang dicapai.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui pengelolaan belanja pemerintah selama ini kurang efisien sehingga mereduksi kualitas belanja di APBN. Kehadiran program Registrasi Sosial Ekonomi yang kini sedang dalam proses pendataan diharapkan bisa menjawab masalah tersebut dan mendorong efisiensi belanja negara.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Wahyu Utomo mengatakan, belanja pemerintah masih menghadapi sejumlah tantangan yang membuat kualitasnya berkurang.
Hal itu terlihat dari belum selarasnya besaran alokasi anggaran untuk sejumlah layanan pokok (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial) dengan hasil atau dampak yang dicapai dari belanja tersebut. Ia mencontohkan, sejak tahun 2009, anggaran pendidikan sudah mencakup 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Demikian pula, sejak 2016, dengan pengecualian saat pandemi Covid-19, anggaran kesehatan selalu mencakup 5 persen dari APBN. Sementara, sejak 2018, anggaran program perlindungan sosial atau bantuan sosial berada di kisaran 15 persen dari APBN.
Sebagai gambaran, pada APBN 2023, dari total belanja negara senilai Rp 3.061,2 triliun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan Rp 608,3 triliun, anggaran kesehatan Rp 169,8 triliun, dan anggaran perlindungan sosial Rp 479,1 triliun.
Namun, menurut Wahyu, belanja pemerintah belum cukup efisien. Hal itu terlihat dari belum signifikannya dampak dari alokasi anggaran yang besar itu terhadap pembangunan manusia dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Ia mencontohkan, Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia masih pada posisi 107 dari total 189 negara yang disurvei.
Sementara, Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) Indonesia masih di peringkat ke-87 dari 174 negara yang disurvei. ”Artinya, belum ada keselarasan antara alokasi anggaran yang besar itu dan output yang mau dicapai,” kata Wahyu dalam acara Regsosek Talk yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Senin (31/10/2022).
Tantangan lain yang mereduksi kualitas APBN berupa pola penyerapan belanja yang biasanya menumpuk di dua triwulan terakhir. Saat ini, kecepatan belanja APBN pun sedang dalam sorotan. Sampai 30 September 2022, belanja pemerintah baru terserap 61,6 persen dari target APBN 2022 senilai Rp 3.106,4 triliun. Sepanjang Januari-Juni 2022, belanja pemerintah juga selalu terkontraksi.
Per September, masih ada Rp 1.200 triliun yang tersisa di APBN. Sisa anggaran yang tidak terpakai rencananya akan dijadikan dana cadangan (cash buffer) untuk APBN 2023 guna mengantisipasi ancaman resesi global tahun depan. ”Penyerapannya lambat dan rendah sehingga daya dorongnya jadi kurang optimal terhadap perekonomian,” ujar Wahyu.
Belum ada keselarasan antara alokasi anggaran yang besar itu dan output yang mau dicapai.
Penyaluran program yang tidak tepat sasaran juga ikut mengganggu kualitas belanja APBN. Meski anggaran perlindungan sosial selalu termasuk dalam alokasi prioritas pemerintah, penyalurannya tidak efisien sehingga dampaknya kurang dirasakan masyarakat. ”Alokasi kita sudah cukup besar, tapi ketidaktepatan sasaran masih sering terjadi,” katanya.
Berbagai inefisiensi anggaran itu diharapkan bisa diatasi dengan program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang pendataannya sudah dilakukan sejak dua pekan lalu pada 15 Oktober 2022 dan akan berakhir dua pekan lagi pada 14 November 2022.
Di tengah kondisi ruang fiskal yang menyempit dengan potensi berkurangnya penerimaan negara dan belanja yang ditekan agar defisit APBN tidak melebihi 3 persen, serapan belanja pemerintah perlu dioptimalkan agar tepat guna, tepat sasaran, dan tidak sia-sia.
”Dengan Regsosek ini harapannya memang data kita menjadi lebih akurat dan aktual sesuai kondisi terkini sehingga bisa semakin mendorong kualitas belanja negara,” ujar Wahyu.
Senada, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Maliki menambahkan, basis data nasional yang mencakup profil kondisi sosial-ekonomi seluruh penduduk akan menjadi bekal utama bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
”Seharusnya, melalui pendataan ini, program pembangunan pemerintah ke depan bisa lebih fokus pada kebutuhan masyarakat dan kualitas belanja negara juga bisa semakin meningkat. Selama ini, memang ada inefisiensi anggaran karena kurangnya data yang berkualitas,” ujarnya.
Saat ini, pemerintah telah menerjunkan sekitar 400.000 petugas untuk mendata warga di 514 kabupaten/kota di Indonesia secara serentak. Regsosek rencananya akan mendata seluruh warga tanpa terkecuali dari rumah ke rumah (door to door), termasuk presiden dan pejabat serta keluarganya, serta tunawisma.
Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ateng Haryono, pendataan Regsosek akan dilakukan secara meluas, termasuk sampai ke warga tunawisma, pekerja migran dan awak kapal berbendera Indonesia yang sudah melaut lebih dari satu tahun, panti asuhan, rumah sakit jiwa, wilayah pengungsian, penjara, rumah tahanan, dan lain-lain.
”Pendataan ini cukup kompleks. Kami tidak hanya mendata jumlah penduduk, tapi juga demografi latar belakang pendidikan, pekerjaan, karakteristik rumah yang dimiliki, juga geo-tagging setiap bangunan rumah,” kata Ateng.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman RI Robert Endy Jaweng berharap, pendataan Regsosek benar-benar dijadikan acuan tunggal untuk penyusunan berbagai program pemerintah. Harapannya, penyaluran bantuan sosial pun bisa lebih inklusif dan tidak diskriminatif akibat pendataan yang minim.
”Ke depan, tidak bisa lagi ada alasan bahwa masyarakat tidak terdata sehingga tidak bisa diberikan bansos. Ini harus menjadi basis lahirnya kebijakan-kebijakan inklusif,” ujarnya.