Penjaminan Polis Asuransi Diusulkan Jadi Wewenang LPS
Usulan wewenang baru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai penjamin polis diyakini bisa memperkuat industri asuransi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan atau P2SK mengamanatkan wewenang baru kepada Lembaga Penjamin Simpanan, yakni sebagai penjamin polis asuransi. Langkah ini diyakini bisa memperkuat industri asuransi.
Wewenang baru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tersebut tercantum dalam Pasal 7 RUU P2SK yang mengatur perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Pasal itu menyebutkan fungsi LPS adalah merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan resolusi bank dan perusahaan perasuransian. Sebelumnya, wewenang LPS hanya menjamin simpanan di perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pihaknya belum mendapatkan keterangan secara jelas tentang penambahan fungsi LPS dalam RUU itu. Namun, jika diamanatkan, LPS siap menjalankan fungsi tersebut.
”Kami siap menerima amanat tersebut dan segera mempersiapkan diri agar dapat menjalankan amanat tersebut,” ujar Purbaya dihubungi Selasa (25/10/2022).
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bern Dwyanto mengatakan, pihaknya mendukung usulan RUU mengenai penambahan fungsi LPS sebagai penjamin polis asuransi. Sebab, itu bisa mendorong tingkat kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dan berdampak positif pada perusahaan dan industri asuransi secara keseluruhan.
Ia menjelaskan, keberadaan lembaga penjamin polis sebetulnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam UU itu, lembaga itu diberi nama Lembaga Penjamin Polis (LPP). Sayangnya, LPP itu tidak pernah terbentuk.
”LPP akan berperan dalam menjaga polis-polis nasabah jika suatu waktu perusahaan asuransi mengalami kendala sehingga tidak bisa membayar klaim,” ujar Bern.
Bern menambahkan, pihak yang kelak mengurus penjaminan polis nasabah asuransi ini diharapkan harus benar-benar memahami isi polis dan aturan yang berlaku pada polis asuransi, baik asuransi umum, jiwa, maupun syariah. Selain itu, LPP perlu menyesuaikan diri dengan sistem digitalisasi yang telah banyak dibangun perusahaan asuransi.
Persiapan operasional
Pengamat industri asuransi Irvan Rahardjo menyambut baik rencana pembentukan LPP sebagaimana tertuang di dalam RUU P2SK. Namun, dia memberikan sejumlah catatan dalam pelaksanaan operasional fungsi penjaminan polis ke depan.
Ia mengatakan, fungsi penjaminan polis bukan untuk menjadi lembaga bail out atau penyelamat perusahaan asuransi yang kolaps. Fungsi penjaminan polis ini harus lebih diarahkan untuk menjamin perlindungan polis nasabah. ”Penjaminan hanya menjamin polis nasabah,” ujar Irvan.
Ia menjelaskan, apabila LPP juga menjamin perusahaan asuransi, muncul moral hazard dan adverse selection.
Moral hazard adalah perilaku tidak jujur, baik dari nasabah maupun perusahaan asuransi, sehingga terdapat klaim yang tak sesuai fakta dan tak semestinya. Hal ini bisa mengganggu kesehatan keuangan perusahaan asuransi.
Sementara adverse selection adalah kelalaian perusahaan asuransi dalam membedakan nasabah berisiko tinggi dan rendah sehingga pemberian klaim menjadi tidak akurat.
Moral hazard dan adverse selection bisa terjadi lantaran perusahaan asuransi merasa tak perlu mengimplementasikan tata kelola yang baik mengingat bila terjadi apa-apa atau kebangkrutan, ada lembaga penjamin polis yang akan menyelamatkan.
Selain itu, Irvan mengatakan, perlu ada pemisahan dana kelolaan untuk penjaminan simpanan perbankan dan untuk penjaminan polis. Ini agar dana yang tersedia bisa digunakan sesuai peruntukannya.
Sementara, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, fungsi penjaminan polis bisa saja ditambahkan kepada LPS. Namun, menurut dia lebih baik ada pemisahan lembaga antara LPP dan LPS.”Ini karena karakteristik industri asuransi berbeda jauh dengan perbankan. Konsekuensinya, perhitungan mitigasi risikonya pun berbeda. Kesiapan dana yang diperlukan pun berbeda,” ujar Piter.
RUU P2SK merupakan omnimbus law lantaran mengatur ruang lingkup industri keuangan secara luas meliputi perbankan, pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing, perasuransian, asuransi usaha bersama, program penjaminan polis, usaha jasa pembiayaan, usaha modal ventura, dana pensiun, kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi, lembaga keuangan mikro, dan konglomerasi keuangan.
Selain itu, RUU P2SK juga memuat perubahan pengaturan di ekosistem keuangan terkait dengan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), penerapan keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan dan perlindungan konsumen, akses pembiayaan UMKM, sumber daya manusia, dan stabilitas sistem keuangan. Adapun pengaturan ITSK, antara lain, meliputi sistem pembayaran, aktivitas terkait aset kripto, dan jasa keuangan digital lainnya.
Terkait dengan penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, RUU P2SK mengubah UU No 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan atau UU Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), UU No 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI).