Redam Kejatuhan Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 50 Basis Poin
Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mengembalikan inflasi ke dalam sasaran 2-4 persen pada semester I-2023.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terus berlanjut ditambah ekspektasi inflasi yang dinilai masih tinggi mendorong Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan secara agresif sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen. Kenaikan suku bunga acuan ini diharapkan bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mengembalikan inflasi ke dalam sasaran 2-4 persen pada semester I-2023.
Kebijakan tersebut diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang digelar pada Kamis (20/10/2022). Ini merupakan kenaikan 50 basis poin (bp) berturut-turut setelah pada bulan sebelumnya BI juga melakukan hal yang sama. Adapun pada Agustus 2022, BI hanya menaikkan suku bunga sebesar 25 bp.
Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 125 bp sejak Agustus 2022. Sebelumnya, sejak Februari 2021 hingga Juli 2022, tingkat suku bunga bertahan di level 3,5 persen.
Saat memaparkan hasil RDG BI secara daring Kamis, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini salah satunya untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Sejak awal tahun hingga 19 Oktober 2022, mata uang rupiah telah terdepresiasi sebesar 8,03 persen terhadap dollar AS. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), kurs rupiah pada perdagangan Kamis ditutup pada level Rp 15.579 per dollar AS, melemah dibandingkan penutupan sehari sebelumnya di posisi Rp 15.491 per dollar AS.
Meski demikian, depresiasi kurs rupiah masih lebih rendah dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya seperti rupee India yang melemah 10,42 persen, ringgit Malaysia turun 11,75 persen, dan bath Thailand anjlok 12,55 persen.
Pelemahan nilai tukar rupiah salah satunya dipicu oleh langkah bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang sepanjang tahun ini sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya. Kini suku bunga acuan The Fed berada pada posisi 3,25 persen.
Kenaikan suku bunga The Fed memicu keluarnya arus keluar modal dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Tingginya permintaan dollar AS di dalam negeri membuat dollar AS menguat terhadap rupiah.
Investor global memindahkan dananya dari aset-aset berdenominasi rupiah ke aset-aset berdenominasi dollar AS lantaran imbal hasilnya lebih menarik. Di tengah tekanan ketidakpastian perekonomian global, para pemodal makin terdorong menempatkan uangnya di pasar AS.
Berdasarkan data BI, mulai awal tahun hingga 13 Oktober 2022, pihak asing melakukan jual neto Rp 170 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan beli neto Rp 71,85 triliun di pasar saham.
Perry menjelaskan, ke depan, BI terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga dilakukan melalui intervensi di pasar valas, baik melalui transaksi spot, domestic non deliverable forward (DNDF), maupun pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Selain itu, BI juga akan melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder untuk memperkuat transmisi kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate (DRRR) dalam meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investor portofolio asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah.
Ekspektasi inflasi
Perry mengatakan, kenaikan suku bunga juga untuk mempercepat kembalinya inflasi inti ke target sasaran tiga persen plus minus satu persen, yakni pada paruh pertama 2023.
”Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran pada paruh pertama 2023,” ujar Perry.
Front loaded adalah strategi menaikkan suku bunga dengan porsi yang besar di waktu awal dari rangkaian kenaikan suku bunga dalam periode tertentu. Ini sekaligus juga merupakan langkah pre-emptive, yakni mitigasi risiko untuk mencapai sasaran di masa mendatang atau forward looking.
Strategi front loaded ditandai dengan menaikkan suku bunga secara agresif atau lebih besar di depan, diikuti kenaikan suku bunga di bulan-bulan berikutnya secara lebih kecil.
Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi umum September 2022 sebesar 1,17 persen. Inflasi umum September 2022 dibandingkan September 2021 sebesar 5,95 persen. Adapun inflasi umum kalender tahun berjalan 2022 atau Januari-September 2022 mencapai 4,84 persen.
Sementara itu, inflasi inti September 2022 sebesar 0,30 persen, inflasi inti September 2022 dibandingkan September 2021 sebesar 3,21 persen, dan inflasi inti kalender tahun berjalan 2022 atau Januari-September sebesar 2,81 persen.
Kondisi inflasi umum dan inflasi inti saat ini sudah melampaui target BI untuk tahun 2022, yakni 3 persen plus minus 1 persen.
Dihubungi secara terpisah, Kamis, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Irman Faiz mengatakan, kebijakan BI menaikkan suku bunga secara agresif ditujukan untuk menjaga nilai tukar rupiah sekaligus menjaga ekspektasi inflasi tetap pada jalurnya.
Ia menilai keputusan BI menaikkan suku bunga sebesar 50 bp sudah tepat. Ke depan, lanjut Irman, BI kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan untuk mengimbangi langkah The Fed yang diperkirakan juga masih terus menaikkan suku bunga.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, BI perlu tetap berada selangkah lebih depan dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 bp untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah ancaman modal keluar akibat kenaikan suku bunga The Fed dan meningkatnya ketidakpastian global.
”Menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 50 bp akan membantu BI untuk memperlambat arus keluar modal dan mengurangi tingkat depresiasi, yang membantu mengurangi tekanan inflasi dari produk impor,” ujar Riefky.