Langkah Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan secara agresif mendorong penguatan mata uang dollar AS terhadap mata uang lainnya
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah dan berbagai mata uang negara lainnya terus melemah terhadap dollar AS. Hal ini dipicu oleh menguatnya dollar AS seiring terjadinya capital outflow atau pelarian modal dari negara-negara berkembang ke pasar keuangan AS. Pelaku usaha dalam negeri perlu mengantisipasi dampak pelemahan nilai tukar rupiah.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JisdorISDOR), nilai tukar rupiah dibandingkan dollar AS pada perdagangan Senin (17/10/2022) ditutup pada level Rp 15.480. Nilai tukar rupiah telah terdepresiasi 8,53 persen dibandingkan posisi 31 Desember 2021 yang berada pada level Rp 14.263.
Banyak mata uang lainnya yang juga melemah terhadap dollar AS. Mengutip Reuters, mata uang Yen Jepang contohnya terdepresiasi 29,2 persen sejak awal tahun hingga 12 Oktober 2022. Mata uang won Korea Selatan telah terdepresiasi 21,27 persen sejak awal tahun hingga 14 Oktober 2022. Depresiasi nilai mata uang juga dicatat negara tetangga ringgit Malaysia sebesar 12,7 persen sejak awal tahun hingga saat ini.
Dihubungi Senin (17/10/2022), Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS disebabkan pasokan dollar AS di dalam negeri tengah berkurang. Hal ini dipicu oleh aksi pelaku pasar yang ramai-ramai melepas aset dalam rupiah dan mengalihkannya ke aset berdenominasi dollar AS karena menilai aset berbasis dollar AS lebih aman di tengah ancaman resesi ekonomi global.
”Kekhawatiran pada ancaman resesi ekonomi global mendorong pelaku pasar mencari aset yang aman, salah satunya adalah dengan memegang dollar AS,” ujar Bhima.
Selain itu, menyimpan aset dollar AS di tengah lonjakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserves (The Fed) dinilai pemodal juga menjanjikan imbal hasil yang lebih menguntungkan. Risiko pun lebih kecil ketimbang menyimpan aset di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini akhirnya mendorong investor menarik uangnya dari Indonesia dan menempatkannya di pasar keuangan AS.
Hal senada juga dikemukakan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani. Ia mengatakan, sejatinya indikator perekonomian Indonesia dalam kondisi baik sehingga pelemahan nilai tukar rupiah lebih banyak dipicu faktor global.
”Jadi, ini lebih karena dollarnya yang menguat terhadap mata uang lain, bukan rupiah yang melemah,” ujar Haryadi saat dihubungi Senin.
Rentetan dampak
Baik Bhima maupun Haryadi sama-sama mengatakan, dampak melemahnya nilai tukar rupiah ke dunia usaha adalah biaya bahan baku industri manufaktur berpotensi naik. Sebab, industri manufaktur masih sangat bergantung pada bahan baku impor.
Kenaikan struktur biaya bahan baku itu akan memicu pengusaha menaikkan harga jual barang dan jasa. Dampaknya di bagian hilir, harga jual barang dan jasa pun meningkat. Padahal, peningkatan harga jual di tengah penurunan daya beli masyarakat bisa memengaruhi omzet usaha.
”Agar tetap kompetitif, perusahaan perlu melakukan efisiensi,” ujar Bhima.
Selain itu, tingkat inflasi di dalam negeri juga bisa terkerek akibat importasi (imported inflation). Karena rupiah melemah, harga barang-barang impor akan menjadi lebih mahal.
Namun, di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah akan menguntungkan eksportir. Sebab, dengan harga penjualan yang sama dalam dollar AS, mereka bisa menikmati keuntungan lebih besar karena pelemahan kurs rupiah. Apalagi bagi eksportir yang menggunakan bahan baku dalam negeri.
Kendati demikian, Haryadi mengatakan, momentum menggenjot ekspor di tengah menguatnya mata uang dollar AS itu sulit terjadi. Hal ini lantaran permintaan ekspor dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia juga tengah menurun akibat perlambatan ekonomi di negara-negara bersangkutan.
Baik Haryadi dan Bhima sama-sama mengatakan, yang paling dibutuhkan dunia usaha saat ini adalah nilai kurs yang stabil, bukan yang berfluktuasi seperti saat ini. ”Nilai tukar yang stabil membantu pengusaha menghitung dan merencanakan bisnisnya ke depan dengan lebih akurat,” ujar Bhima.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, inflasi yang tinggi di berbagai negara direspons dengan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral masing-masing. Hal ini turut mengerem pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. Dampaknya, permintaan terhadap barang-barang dari Indonesia juga menurun.