Pengiriman Pekerja Migran dengan Skema ”G to G” Belum Optimal
Pengiriman pekerja migran Indonesia dalam skema ”G to G” diharapkan melindungi PMI lebih maksimal. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengiriman pekerja migran Indonesia dengan skema pemerintah ke pemerintah (G to G) diharapkan lebih melindungi warga penyumbang devisa ini. Skema ini baru mencakup 7 persen dari keseluruhan pekerja migran Indonesia yang sudah berangkat ke sejumlah negara. Selain itu, masih diperlukan nota kesepahaman bilateral untuk menjamin penempatan, pengupahan, dan perlindungan pekerja migran.
Pekerja migran Indonesia sudah mulai kembali bertolak ke sejumlah negara sejak pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) dibuka Desember 2021. Sebelumnya, pandemi Covid-19 membuat tak seorang pun pekerja migran bisa keluar negeri.
”Per hari ini sudah ditempatkan 10.000 pekerja migran Indonesia dalam skema G to G. Adapun total di luar skema sudah 132.000 orang,” kata Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdany, Senin (17/10/2022), di Jakarta.
Jumlah tersebut menunjukkan jumlah PMI dalam skema G to G hanya 7 persen dari keseluruhan PMI yang sudah berangkat ke sejumlah negara.
Dalam keberangkatan gelombang ke-82, Senin (17/10/2022), Presiden Joko Widodo yang melepas keberangkatan para pekerja migran ini ke Korea Selatan. Hadir pula Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Kepala BP2MI Benny Rhamdani, Duta Besar RI untuk Republik Korea Gandi Sulistiyanto, dan Duta Besar Republik Korea untuk RI Park Taesung.
Dalam pelepasan di Hotel El Royale, Jakarta, Presiden mengatakan senang. Sebab, PMI yang diberangkatkan memiliki keterampilan, kompetensi, pendidikan, dan semangat tinggi.
”Saya lihat tadi semangatnya (para PMI) betul-betul sebuah semangat yang optimistis. Saya senang karena saudara-saudara ini disiapkan, ada pembekalan, tujuannya jelas,” kata Presiden.
Presiden juga gembira karena semakin banyak permintaan PMI melalui skema lain, seperti private to private dan business to business. Namun, Presiden meminta kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI, menyiapkan semuanya. Dengan demikian, tenaga yang dikirimkan memiliki keterampilan baik.
Salah satu permintaan adalah 1.800 petugas yang memiliki keterampilan mengelas (welder). Keterampilan spesifik seperti ini perlu disiapkan dengan sungguh-sungguh.
”Ini tugas besar bagi Bu Menaker dan Pak Kepala BP2MI sehingga betul-betul pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi ini harus benar-benar kita siapkan,” tambah Presiden.
Presiden menyebutkan, saat ini total PMI yang bekerja di luar negeri mencapai 9 juta orang. Namun, baru setengah dari jumlah tersebut yang merupakan pekerja legal secara hukum. Oleh karena itu, BP2MI diminta bekerja lebih keras untuk mencatat semua PMI di luar negeri. Harapannya, pekerja migran yang berangkat melalui jalur ilegal bisa terus dikurangi.
”Inilah yang saya tugaskan sejak 2,5 tahun yang lalu kepada Pak Benny Rhamdani (Kepala BP2MI) agar (pekerja migran ilegal) itu terus dipangkas, dikurangi, dan segera bisa dihilangkan. Semua pekerja migran kita harus tercatat, harus terpantau, harus bisa dilihat di mana dia bekerja, karena ini menyangkut perlindungan, menyangkut keselamatan kita semuanya,” tutur Presiden.
Di akhir sambutannya, Presiden Jokowi berpesan kepada para PMI untuk bijak dalam menggunakan penghasilan yang didapatkan nantinya. Menurut dia, jumlah penghasilan yang didapatkan nanti cukup tinggi sehingga Kepala Negara mendorong para PMI menyisihkan penghasilannya untuk ditabung dan tidak konsumtif dalam menggunakan penghasilan tersebut.
Banyak PR
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai skema G to G umumnya masih belum murni dan sepenuhnya melindungi pekerja migran Indonesia. Dalam proses perekrutan, swasta masih punya peran. Untuk pekerja migran ke Korea Selatan, biasanya pekerja migran direkrut melalui lembaga bahasa Korea, tetapi kemudian dilatih BP2MI di Jakarta. Karena prosesnya belum murni G to G, biaya rekrutmen masih tinggi.
”Jika skema G to G dilakukan secara murni, rekrutmen oleh disnaker atau pemerintah desa. Warga juga tidak harus membayar,” ujar Wahyu.
Selain itu, menurut dia, skema G to G seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan biasanya bagian dari kerja sama ekonomi, seperti bagian Persetujuan Kemitraan Ekonomi Indonesia-Jepang (IJEPA) atau bagian dukungan pendanaan Korea untuk Indonesia. Karena itu, belum ada lembaga bilateral yang menaungi dalam konteks penempatan dan perlindungan pekerja migran.
”Saya tentu mendukung semangat G to G, tapi harus ditingkatkan level kerja samanya. Kalaupun (pengiriman PMI) menjadi bagian kerja sama ekonomi, harus ada landasan kerja sama bilateral untuk perlindungan mereka,” tutur Wahyu.
Dengan demikian, kesempatan dan gaji para pekerja migran ini tidak terbatas. Pengalaman skema yang sama di masa lalu membuat PMI dikontrak sebagai pekerja magang bergaji rendah. Akibatnya, banyak yang selepas kontrak menjadi pekerja tanpa dokumen karena mencari gaji yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, memastikan negosiasi penempatan, standar kerja layak dan upah layak, serta perlindungan hak pekerja migran secara umum dalam suatu nota kesepahaman perlu dilakukan. Dengan demikian, PMI tidak tergoda untuk menjadi pekerja ilegal yang sangat berisiko.
Diplomat-diplomat Indonesia juga diharapkan berkomitmen mengurus PMI. Apalagi, pemerintah kerap menyanjung PMI sebagai penyumbang devisa. Benny pun menyebut Rp 159,6 triliun devisa yang disumbangkan pekerja migran Indonesia kepada negara setiap tahun.
Wahyu mengingatkan, Indonesia sesungguhnya sudah meratifikasi beberapa aturan terkait pekerja migran. ASEAN juga memiliki konsensus terkait perlindungan hak pekerja migran (ASEAN Consensus on the Protection of the Rights of Migrant Workers).
Modal-modal tersebut, menurut Wahyu, jarang digunakan untuk negosiasi dengan negara lain. Semestinya semua dimanfaatkan untuk mengegolkan kerja sama perlindungan pekerja migran yang lebih konkret.
Selain itu, pelatihan diperlukan untuk meningkatkan kualitas PMI. Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran Indonesia, semestinya PMI dibebaskan dari biaya pelatihan dan biaya penempatan. Namun, lanjutnya, mayoritas belum ada pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat yang mengalokasikan APBD/APBN untuk itu. Dukungan anggaran ini akan memastikan PMI tidak terjerat utang saat akan berangkat.
Wahyu menilai, di masa pandemi, biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi PMI semakin besar. Sebab, masih banyak negara yang mensyaratkan pekerja migran melakukan isolasi terlebih dahulu. Selain itu, ada kondisi ”lapar kerja” akibat PMI yang gagal berangkat, di-PHK, atau penurunan ekonomi semasa pandemi Covid-19.
Hal tersebut dimanfaatkan para perekrut tenaga kerja, baik dalam skema tidak berdokumen maupun dalam skema perdagangan manusia. Ia mencontohkan, Migrant Care menangani kasus 270 sarjana informatika dan sarjana komputer yang menjadi korban perdagangan manusia dalam kejahatan keuangan.
”Jadi, PR pemerintah masih sangat banyak dan skema G to G harus disempurnakan,” pungkasnya.