Warga Batasi Pengeluaran dan Bersiasat Atur Keuangan
Kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan memaksa sebagian warga menekan pengeluaran. Dengan penghasilan yang stagnan, bahkan cenderung turun, mereka bersiasat agar keuangan keluarga tetap aman.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan inflasi kian menggerus daya beli berbagai kelompok masyarakat. Pendapatan cenderung stagnan, bahkan menurun, sementara harga barang kebutuhan meningkat. Oleh karena itu, masyarakat mulai bersiasat untuk menghindari kondisi keuangan yang lebih buruk.
Hasil survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan, pengeluaran konsumen pada September 2022 meningkat dibandingkan dengan sebulan sebelumnya di tengah tabungan yang mulai tergerus. Rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi meningkat dari 73,6 persen menjadi 74,8 persen.
Di sisi lain, proporsi pendapatan yang disimpan konsumen sebesar 15,8 persen atau lebih rendah dari 16,8 persen pada Agustus 2022. Adapun rata-rata proporsi pembayaran cicilan konsumen turun dari 9,6 persen menjadi 9,4 persen.
Prista Wardani (24), salah satu pegawai negeri sipil di Jakarta Pusat, misalnya, sedang membatasi pengeluaran untuk kebutuhan tersier, seperti pakaian baru dan sepatu baru. Ia kini lebih mengutamakan belanja untuk memenuhi kebutuhan pokok.
”Sekarang saya sudah jarang beli barang melalui lokapasar (marketplace), tapi kalau untuk transportasi sehari-hari masih pakai ojek daring karena memang kebutuhan,” ujar Prista, Jumat (14/10/2022).
Dampak inflasi juga memengaruhi para pelaku usaha. Salah satu pemilik usaha makanan di Petamburan IV, Jakarta Pusat, Muhammad Rizal (35), menyampaikan, daya beli masyarakat yang tergerus membuat pendapatannya berkurang.
Ia bahkan sampai menahan pengeluaran untuk liburan bersama keluarga karena masih memiliki kewajiban membayar kredit pemilikan rumah (KPR) setiap bulan.
Hal serupa dirasakan Bahrul Tamam (30), pengemudi ojek daring di Jakarta. Dengan penghasilan yang tidak menentu dan relatif turun, ia masih wajib membayar cicilan kendaraan. Alhasil, Tamam harus mengurangi anggaran untuk makan dan minum di warung.
”Saya masih ada cicilan sepeda motor Rp 820.000 per bulan dan juga harus membayar sewa kontrakan Rp 1,1 juta setiap bulan. Belum lagi biaya untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) semakin bertambah,” ujarnya.
Bersiasat
Untuk mengantisipasi kenaikan harga barang yang berlanjut, Prista memilih menyiapkan uang tunai sebagai alat tukar sehari-hari agar tidak terpicu membeli makanan secara daring. Ia juga mulai menabung dan tidak membeli dengan cara cicilan.
”Sebenarnya saya juga ingin sedikit berhemat dengan cara masak sendiri di kos, tapi kos saya kebetulan tidak ada dapurnya,” kata Prista.
Senada dengan Prista, Rizal juga sudah merencanakan berbagai hal ke depan. Ia mulai bersiap untuk mengantisipasi kenaikan harga terus berlanjut hingga tahun depan. Memiliki persiapan dari sekarang merupakan hal yang harus dilakukan oleh semua orang.
”Saya menyiapkan berbagai solusi, seperti mengontrol keuangan lebih baik dan bijak agar cicilan KPR tidak terhambat. Menurut rencana, saya juga ingin memperbesar dana darurat dari sekarang dan menghindari utang jangka panjang,” kata Rizal.
Sementara itu, Tamam memilih untuk mencari pekerjaan tambahan dari sekarang. Dengan penghasilan ojek daring yang tidak pasti, ia khawatir akan kesusahan membayar cicilan di masa mendatang.
Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, kenaikan inflasi dan rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan semakin menggerus daya beli masyarakat.
Menurut dia, masyarakat akan terbebani oleh kenaikan bunga kredit setelah BI menaikkan suku bunga acuan. Hal ini akan membuat masyarakat sulit untuk membeli kendaraan hingga rumah dengan sistem kredit. ”Suku bunga kredit dalam 2-3 bulan mendatang akan meningkat, termasuk KPR. Oleh karena itu, masyarakat harus bisa menyesuaikan pendapatan dan pengeluaran,” kata Rusli.
Sebagai upaya di tengah inflasi, masyarakat yang khususnya memiliki pendapatan di bawah Rp 10 juta per bulan harus mulai mengerem pengeluaran untuk kebutuhan tersier.
”Masyarakat dapat mengurangi pengeluaran untuk hal-hal seperti menonton di bioskop dan makan di restoran. Jangan setiap minggu mengeluarkan uang untuk kebutuhan tersier. Harus dibatasi. Masyarakat juga bisa mulai berinvestasi, misalnya investasi emas,” ucap Rusli.
Ia mengatakan, pemerintah dapat memfasilitasi masyarakat dengan memberikan akses ruang publik, seperti menggratiskan biaya Transjakarta setiap hari Minggu. Masyarakat masih membutuhkan hiburan yang tidak memerlukan biaya di tengah inflasi yang meningkat.