BI: Pertumbuhan Ekonomi Triwulan Ketiga Diperkirakan 5,5 Persen
Di tengah bayang-bayang pelambatan ekonomi karena kenaikan harga BBM pada awal September, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga masih lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
GIANYAR, KOMPAS — Kendati dibebani kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi per September, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga tahun ini dapat mencapai 5,5 persen. Pertumbuhan ditopang oleh aktivitas dunia usaha. Sektor produksi dan konsumsi masyarakat dinilai masih cukup kuat seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi.
Dalam lokakarya dengan wartawan di Ubud, Gianyar, Bali, Sabtu (1/10/2022), Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 akan lebih tinggi dibandingkan triwulan kedua lalu.
”Pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga tahun ini diperkirakan sekitar 5,5 persen secara tahunan, lebih kuat dibandingkan triwulan kedua kemarin yang sebesar 5,44 persen secara tahunan,” ujar Wahyu.
Ia mengatakan, agregat penawaran atau produksi dunia usaha yang meningkat turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh Indeks Belanja Manajer (Purchasing Managers Index/PMI) Manufaktur yang pada Agustus 2022 mencapai level 51,7 menguat dari Juli yang berada pada level 51,3. Level indeks di atas 50 ini menandakan sektor industri manufaktur atau dunia usaha sedang dalam posisi ekspansi.
Indikator lainnya adalah penyaluran kredit perbankan sampai dengan Agustus 2022 yang bertumbuh 10,62 persen secara tahunan. Penyaluran kredit itu terjadi di seluruh segmen, baik kredit modal kerja, investasi, ataupun konsumsi.
Konsumsi masyarakat juga terjaga dan hal ini akan meneruskan keyakinan serta ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang positif di masa mendatang. Hal ini tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2022 yang berada pada level 124,7, meningkat dibandingkan Juli yang berada pada level 123,2. Posisi IKK yang berada di atas level 100 menunjukkan konsumen berada di zona optimistis.
Indikator lainnya adalah penyaluran kredit perbankan sampai dengan Agustus 2022 yang bertumbuh 10,62 persen secara tahunan.
Menguatnya optimisme konsumen pada Agustus 2022 menunjukkan peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi terhadap ekonomi ke depan. Hal tersebut terindikasi dari Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) yang meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, tertinggi pada indeks penghasilan, dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang juga tercatat meningkat, terutama pada ekspektasi kegiatan usaha ke depan.
”Dengan berbagai indikator itu, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga akan lebih kuat dibandingkan triwulan kedua,” ujar Wahyu.
Ia mengatakan, kendati pada September ada kenaikan harga BBM, hal itu diperhitungkan tidak banyak menyurutkan daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi juga diyakini masih tetap bisa melaju.
Hal ini lantaran pemerintah menyiapkan anggaran belanja bantuan sosial untuk menjaga daya beli kalangan yang rentan terdampak kenaikan harga BBM. Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat memang masih melaju.
Sampai akhir tahun, pihaknya menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5-5,3 persen. Dengan berbagai indikator ekonomi yang ada, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa berada di posisi 5,1 persen.
Inflasi
BI memperkirakan inflasi pada September 2022 mencapai 1,10 persen dibandingkan Agustus 2022. Hal ini tertuang dalam Survei Pemantauan Harga yang dirilis BI. Survei ini diyakini mendekati rilis tingkat inflasi yang akan resmi disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin 3 Oktober 2022.
”Kami melakukan survei pemantauan harga yang pada pekan kelima September inflasinya sekitar 5,88 persen secara tahunan,” ujar Wahyu.
Komoditas utama penyumbang inflasi sampai pekan kelima adalah bensin sebesar 0,91 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Selain itu komoditas lainnya yang menyumbang inflasi secara bulanan adalah angkutan dalam kota sebesar 0,06 persen, angkutan antarkota sebesar 0,02 persen, rokok kretek filter sebesar 0,02 persen, dan beras sebesar 0,02 persen.
Komoditas lain yang juga menyumbang inflasi dibandingkan bulan sebelumnya adalah ikan kembung, pasir, semen, dan bahan bakar rumah tangga masing-masing sebesar 0,01 persen.
Sementara itu, komoditas yang mengalami deflasi dibandingkan bulan sebelumnya pada pekan kelima September adalah bawang merah sebesar -0,06 persen, cabai merah sebesar -0,04 persen, minyak goreng dan daging ayam ras masing-masing sebesar -0,03 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Selain itu, penyumbang deflasi lainnya adalah cabai rawit, tomat, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,02 persen dibandingkan bulan sebelumnya, serta telur ayam ras dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar -0,01 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Wahyu menjelaskan, penyesuaian harga BBM bertransmisi secara langsung menjadi inflasi pada September. Ini disebutnya sebagai dampak langsung kenaikan harga BBM atau first round impact.
Dampak rambatan atau lanjutan dari kenaikan harga BBM (second round impact) diperkirakan akan terjadi pada 2-3 bulan mendatang. Dampak lanjutan itu diperkirakan berasal dari kenaikan tarif angkutan umum hingga angkutan barang.
Disampaikan Wahyu, kenaikan harga BBM ini akan mendorong penambahan inflasi sebesar 1,8 persen-1,9 persen hingga akhir tahun. Adapun inflasi inti sampai akhir tahun diperkirakan akan berada pada level 4,6 persen di akhir tahun.
Untuk mengendalikan inflasi, BI pun memanfaatkan forum Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Daerah yang kekurangan bahan pangan akan berkoordinasi untuk dipenuhi pasokannya dari daerah yang berkelebihan bahan pangan.
Adapun untuk pengendalian inflasi inti BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin yang terdiri kenaikan 25 basis poin pada Agustus dan 50 basis poin pada September.
Dihubungi terpisah, ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, mengatakan, inflasi diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun. Tak hanya karena dorongan kenaikan biaya (cost push inflation) yang dipicu kenaikan harga BBM, tetapi juga dorong pemulihan permintaan (demand-pull inflation).
Dorongan kenaikan inflasi karena unsur biaya ini terlihat dari dampak langsung ataupun lanjutan dari kenaikan harga BBM. Selain itu unsur harga barang yang ditentukan pemerintah (administered price) juga akan meningkat sejalan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada awal September ini.
”Kami memperkirakan inflasi umum akan mencapai 6,27 persen sampai akhir tahun,” ujar Faisal.