Secara agresif, pemerintah sejak awal tahun ini telah menarik banyak insentif fiskal bagi dunia usaha dengan landasan kebijakan reformasi fiskal.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 50 basis poin ke level 4,25 persen punya kans memperlemah konsumsi yang berimbas pada tertekannya dunia usaha. Pemerintah diharapkan tetap menyalurkan insentif ataupun kebijakan fiskal yang dapat menekan kenaikan harga pokok produksi sehingga turut mengendalikan pergerakan inflasi.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyayangkan momentum kenaikan suku bunga acuan yang berdekatan dengan penarikan berbagai insentif bagi dunia usaha untuk penyelamatan fiskal negara. Menurut dia, situasi ini seolah memukul secara bertubi-tubi dunia usaha yang tengah berusaha bangkit.
Ia menuturkan, secara agresif pemerintah sejak awal tahun ini telah menarik banyak insentif fiskal bagi dunia usaha dengan landasan kebijakan reformasi fiskal serta telah tercapainya pemulihan ekonomi. Setelahnya tak lama berselang, pemerintah kembali membuat kebijakan dari sisi moneter berupa kenaikan suku bunga BI secara agresif yang membuat dunia usaha kembali mengalami tekanan karena berpotensi melemahkan konsumsi.
Seharusnya di tengah tren suku bunga tinggi, pemerintah masih dapat fokus menyalurkan insentif kepada dunia usaha untuk memberikan kemudahan dan mengurangi biaya produksi sehingga efek inflasinya tetap bisa terkendali dan terjaga
”Seharusnya di tengah tren suku bunga tinggi, pemerintah masih dapat fokus menyalurkan insentif kepada dunia usaha untuk memberikan kemudahan dan mengurangi biaya produksi sehingga efek inflasinya tetap bisa terkendali dan terjaga,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (23/9/2022).
Ajib mencontohkan, saat ini dunia usaha tengah memperhatikan perkembangan wacana perpanjangan relaksasi kredit untuk dunia usaha. Kebijakan ini dinanti karena akan menciptakan pola pembiayaan yang lebih terukur dan terkelola sehingga dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas dalam kegiatan produksi.
Kebijakan BI menaikkan suku bunga ini memberikan konsekuensi ekonomi dengan berkurangnya likuiditas dan cenderung menurunkan kemampuan daya beli serta konsumsi masyarakat. Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan ditopang oleh konsumsi. Data produk domestik bruto (PDB) tahun 2021 sebesar Rp 16.970,8 triliun, lebih dari 54 persennya adalah kontribusi dari konsumsi.
”Saat suku bunga acuan BI sudah telanjur dinaikan, pemerintah perlu memitigasi dua hal, yakni koreksi pertumbuhan ekonomi serta inflasi yang tetap merangkak naik,” ujarnya.
Ajib memproyeksi, hingga akhir tahun 2022, pertumbuhan ekonomi cenderung akan bergerak di angka 5 persen, tetapi yang bahaya adalah ketika inflasi yang terjadi di atas pertumbuhan ekonomi. Di saat tingkat inflasi di atas pertumbuhan ekonomi terjadi, secara substantif tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun dan terkorbankan.
BI mencatat, sampai dengan Agustus 2022, inflasi inti mencapai 3,04 persen secara tahunan. Besaran ini sudah berada di atas titik tengah dari rentang target inflasi inti BI tahun ini, yakni 2-4 persen. Adapun inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada periode yang sama tercatat telah mencapai 4,69 persen secara tahunan.
Secara prinsip, inflasi disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor permintaan alias meningkatnya konsumsi masyarakat serta faktor penawaran atau adanya kenaikan harga pokok produksi.
Ajib menilai, fenomena inflasi yang terjadi di Indonesia cenderung lebih disebabkan oleh kenaikan harga pokok produksi atas barang dan jasa, di antaranya akibat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dari 10 persen menjadi 11 persen, kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), serta kondisi geopolitik yang mengganggu rantai pasok global.
”Melihat hal ini, kebijakan-kebijakan untuk menekan harga pokok produksi atas barang dan jasa diperlukan agar inflasi dapat lebih terkelola,” ujar Ajib.
Menghadapi situasi ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat dalam mengimplementasikan kebijakan perdagangan demi terjaganya keseimbangan antara tingkat permintaan dan pasokan antardaerah.
”Dari sisi suplai, pemerintah akan terus memastikan faktor kelancaran pasokan dan distribusi, terutama untuk energi dan pangan. Berbagai anggaran yang dapat berkontribusi untuk pengendalian inflasi di daerah, termasuk untuk ketahanan pangan dan pembangunan infrastruktur yang diharapkan memperlancar pasokan dan distribusi barang,” kata Febrio.
Febrio menambahkan, sektor manufaktur Indonesia kembali melanjutkan ekspansi dan terus menguat. Hal ini tecermin dari peningkatan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang mencapai 51,7 pada Agustus 2022 (Juli: 51,3) dan menjadi level tertinggi selama empat bulan terakhir.
Tren penguatan PMI juga dialami beberapa negara ASEAN, seperti Thailand 53,7 (Juli: 52,4) dan Filipina 51,2 (Juli: 50,8). Sementara Malaysia dan Jepang sedikit melambat masing-masing pada 50,3 (Juli: 50,6) dan 51,5 (Juli: 52,1), serta Korea Selatan masih terkontraksi pada 47,6 (Juli: 49,8).
Menurut Febrio, pertumbuhan ini didorong baik oleh peningkatan permintaan baru maupun peningkatan output. Selain itu, tekanan inflasi yang terkendali juga memiliki andil dalam ekspansi sektor manufaktur. Pemerintah akan terus berupaya untuk menjaga momentum ini tetap stabil agar sektor manufaktur tetap mampu menopang pemulihan ekonomi yang terus berlanjut di tengah ketidakpastian global.