Persoalan perizinan menghambat penyediaan rumah rakyat. Solusi mendesak diperlukan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penyediaan rumah rakyat, termasuk rumah bersubsidi, semakin berat akibat hambatan perizinan yang belum tuntas. Tanpa solusi, jurang ketimpangan antara penyediaan dan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia akan semakin besar.
Persoalan perizinan yang belum tuntas, antara lain peralihan dari izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG) yang dinilai masih lamban di daerah. Selain itu, penetapan aturan lahan sawah dilindungi (LSD) di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi yang kontraproduktif dengan program perumahan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Paulus Totok Lusida mengemukakan, ada kecenderungan pemda lamban menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang PBG. Hingga saat ini hanya beberapa daerah yang sudah menerbitkan perda PBG.
PBG merupakan perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung. Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) mengamanatkan penerapan dan retribusi PBG diatur dalam perda.
Kendala izin PBG menyebabkan pengembang kesulitan memasok hunian baru, terutama rumah bersubsidi. Pihaknya berharap pemerintah pusat segera melakukan intervensi untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun belum tuntas.
Sementara itu, beberapa daerah tetap memakai aturan IMB dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dua tahun sampai dengan perbaikan UUCK dilakukan, pemda masih bisa memakai aturan IMB. Persoalannya, IMB tidak bisa lagi masuk dalam data Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang) sebagai syarat realisasi rumah bersubsidi.
”Yang diminta (data Sikumbang) tetap PBG. Semua kerancuan dan kebingungan ini sampai kapan? UUCK itu dibuat untuk tujuan mempermudah, bukan justru mempersulit. Kami menilai perlu ada revolusi dalam perizinan di Indonesia biar kejadian seperti ini tidak ada lagi,” ujar Totok dalam keterangan pers, Selasa (21/9/2022).
Totok menambahkan, kendala lain adalah aturan LSD. Sejumlah perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tiba-tiba ditetapkan sebagai LSD. Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah terhambat. Padahal, sebagian besar pengembang membangun dengan memakai kredit perbankan. ”Sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah UKM yang perlu dibantu dan didukung,” katanya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Umum DPP Apersi Mohammad Solikin. Ia menilai, aturan LSD yang diterbitkan pemerintah cenderung serampangan. Sementara untuk membenahi satu aturan dibutuhkan sinkronisasi lintas lembaga negara yang memakan waktu lama.
”Aturan LSD ini dikeluarkan serampangan sekali. Perumahan yang sudah ada izin dan sertifikat induknya, kok, tiba-tiba jadi LSD. Padahal, kontribusi pajak developer itu tidak sedikit untuk negara, jadi mohon kami juga diperhatikan,” kata Solikin.
Solusi mendesak
Dalam diskusi Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) bertajuk ”Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia”, Selasa (20/9/2022), sejumlah kalangan mendesak pemerintah segera mengatasi persoalan backlog perumahan di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah itu belum termasuk penambahan keluarga baru yang kebutuhannya diperkirakan 800.000 unit rumah per tahun.
Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya Ridwan Bae mengemukakan, perlu terobosan kebijakan yang lebih menyeluruh dan aplikatif untuk tetap menjaga pasokan rumah dan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki rumah layak huni. Pihaknya mengaku menerima laporan bahwa pasokan rumah, termasuk untuk MBR, tersendat akibat masalah perizinan.
Dia mendorong pemerintah mengedepankan komunikasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan, mencakup perbankan, pengembang swasta, dan Perumnas untuk mencari solusi terhadap berbagai kendala penyediaan rumah rakyat. Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi berjalan dengan baik.
”Jika (hambatan suplai dan permintaan) tidak segera diatasi dengan cara yang benar, angka backlog akan terus membengkak. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara,” ujar Ridwan.
Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornaspera) Muhammad Joni mengemukakan, berbagai kendala yang masih terjadi, seperti PBG, LSD, kuota dan harga rumah subsidi, disebabkan kebijakan yang tidak sinkron. Dia meminta ada target waktu untuk penyelesaian hambatan dalam penyediaan perumahan tersebut.
Keputusan penerapan hasil verifikasi LSD dinilai tidak bisa begitu saja mengabaikan perda RTRW/RDTR yang merupakan produk hukum sah. Verifikasi lapangan juga diminta tidak dilakukan sepihak. ”Persoalan LSD harus diatasi tanpa merugikan, apalagi merenggut hak-hak orang lain mengingat ada 175 surat komplain terkait dengan verifikasi lapangan LSD,” ujar Joni.
Joni menambahkan, jika pemerintah ingin mengamankan ketahanan pangan, seharusnya menggencarkan reforma agraria atau resdistribusi tanah untuk petani. Selain itu, guna mencegah kontraproduktif LSD dengan program perumahan rakyat, dia mendesak pemerintah fokus saja pada pembentukan Bank Tanah yang merupakan amanat UUCK.