2025, Indonesia Targetkan Jadi Destinasi Wisata Ramah Muslim Terbaik di Dunia
Jika ingin kembali menjadi rujukan utama destinasi pariwisata ramah Muslim, Indonesia disarankan memiliki konsistensi kebijakan.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai destinasi pariwisata ramah Muslim terbaik dunia menurut Indeks Perjalanan Muslim Global atau Global Muslim Travel Index 2022 yang dikeluarkan oleh Mastercard dan CrescentRating. Pemerintah berharap Indonesia bisa kembali meraih peringkat pertama pada 2025. Berbagai upaya pembenahan harus dilakukan, di antaranya konsistensi kebijakan pemerintah dalam mengembangkan hulu-hilir kebutuhan penunjang pariwisata ramah Muslim.
Sesuai Global Muslim Travel Index (GMTI) 2022, Indonesia menduduki peringkat kedua dari 138 negara yang diteliti. Posisi Indonesia ini naik dari urutan keempat dunia menurut GMTI tahun 2021. Tahun 2020 tidak ada pengukuran karena kasus pandemi Covid-19 masih tinggi. Namun, pencapaian Indonesia di GMTI 2022 masih kalah dengan Malaysia yang berada di urutan pertama. Posisi Malaysia ini tidak berubah dibandingkan dengan pengukuran tahun 2021.
Indonesia tercatat mengalami peningkatan peringkat GMTI dari peringkat ke-6 pada 2015, periongkat ke-4 pada 2016, peringkat ke-3 pada 2017, peringkat ke-2 pada 2018, dan sempat meraih peringkat pertama pada 2019.
GMTI 2022 memiliki empat indikator utama sebagai tolok ukur yang memungkinkan sebuah negara menjadi destinasi menarik lebih banyak wisatawan Muslim. Keempat indikator ialah kemudahan akses ke tempat tujuan, komunikasi, lingkungan, dan layanan yang disediakan di destinasi.
”Kita tidak boleh berhenti di situ. Kami membentuk tim kecil untuk perbaikan. Mudah-mudahan skor pencapaian GMTI Indonesia bisa naik dari 70 pada tahun 2022 menjadi 75 pada 2025 sehingga kita bisa meraih peringkat pertama,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno saat menghadiri seminar Islamic Digital Day 2022, Rabu (21/9/2022), di Jakarta.
Dia mengatakan, pandemi Covid-19 telah membuat dunia semakin gencar bertransformasi digital. Di Indonesia, penetrasi pengguna internet telah mencapai 70-an persen terhadap total populasi penduduk. Hal seperti ini seharusnya aktif dimanfaatkan untuk menghadirkan layanan pariwisata yang semakin cepat, seperti pembayaran transaksi barang-jasa wisata. Dia mencontohkan QRIS yang telah digunakan 19 juta merchant dan kini telah tersedia QRIS lintas batas negara. Wisatawan Muslim dapat mengoptimalkan penggunaan QRIS itu.
”Kami tetap mendorong standar kebersihan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan dijunjung tinggi oleh semua pelaku usaha pariwisata. Standar ini sesuai dengan prinsip pariwisata ramah Muslim,” kata Sandiaga.
Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar menyampaikan, sesuai MasterPlan Ekonomi Syariah 2019-2024, terdapat empat pilar pengembangan ekonomi syariah, yaitu rantai pasok, jasa keuangan, UMKM, dan ekonomi digital syariah. Sektor industri pariwisata mencakup semua pilar itu sehingga bisa dikatakan pariwisata adalah lokomotif pengembangan ekonomi syariah.
Pada kesempatan itu, Kemenparekraf dan KNEKS meluncurkan buku Daya Tarik Bali Baru: Panduan Wisatawan Ramah Muslim di 5 Destinasi Favorit. Lima destinasi favorit yang dimaksud adalah destinasi superprioritas. Di dalam buku ini mengandung konsep pariwisata ramah Muslim sampai fasilitas penunjang kebutuhan harian wisatawan Muslim yang harus disiapkan oleh pelaku industri.
Untuk meningkatkan mutu destinasi Indonesia agar semakin menjadi tujuan pariwisata ramah Muslim dunia, Kemenparekraf menyebut akan mengajak berbagai kementerian/lembaga ambil peran. Pariwisata ramah Muslim juga harus dimaknai sebagai layanan prima tambahan terkait amenitas, daya tarik wisata, dan aksesibilitas yang cukup.
Pada saat bersamaan, Founder dan CEO Crescentrating sekaligus Halaltrip.com Fazal Bahardeen berpendapat, semakin banyak negara, termasuk negara yang bukan berpenduduk Muslim, membuat aneka usaha agar negaranya menarik wisatawan Muslim. Singapura — yang pada GMTI 2022 meraih peringkat sembilan dari 138 negara — telah membuat panduan destinasi pariwisata ramah Muslim. Singapura juga telah mempunyai sekitar 3.000 restoran bersertifikat halal. Kota New York pun belakangan menyusun panduan pariwisata ramah Muslim, sementara Taiwan gencar melakukan sertifikasi restoran halal.
Pasar pariwisata ramah Muslim meningkat sepanjang 2013-2019, tetapi anjlok pada 2020-2021 karena pengaruh pembatasan sosial pandemi Covid-19. Pasar diperkirakan mulai bisa pulih tahun 2024 atau 2025 karena tahun ini dan 2023 masih tambahan tekanan dari kenaikan inflasi.
Crescentrating dan MasterCard, pada 2019, pernah memperkirakan kedatangan wisatawan Muslim mencapai 230 juta pada 2026. Masih adanya pandemi Covid-19 dan tekanan kenaikan inflasi membuat keduanya memperkirakan jumlah kedatangan wisatawan Muslim sebanyak itu baru akan terjadi pada 2028.
”Masih ada negara melakukan pembatasan sosial. Akibatnya, banyak negara (termasuk negara yang tidak berpenduduk Muslim besar) melakukan diversifikasi. Salah satunya melalui cara mengembangkan destinasi pariwisata ramah Muslim yang sebenarnya sejalan dengan membesarnya porsi populasi pelancong Muslim dan kelas menengah Muslim,” kata Fazal.
Untuk Indonesia, dia berpendapat ada beberapa tantangan yang harus segera diatasi agar Indonesia bisa menjadi destinasi pariwisata ramah Muslim yang semakin memikat. Fazal mencontohkan masalah konsistensi kebijakan. Dia mengamati negara lain lebih dulu punya sikap konsisten mengembangkan berbagai kebijakan ataupun program pariwisata ramah Muslim.
Fazal lantas memberikan ilustrasi Malaysia. Negara jiran ini mulai mengembangkan program pariwisata ramah Muslim sekitar tahun 2007. Pemerintahnya juga memiliki organisasi khusus yang mengurus pariwisata ramah Muslim dan fokus melatih sumber daya manusia. Sertifikasi restoran ataupun halal pun sudah kuat.
”Hal yang harus dipastikan (oleh Indonesia) adalah konsistensi kebijakan dan punya program jangka panjang. Lalu, fokus ke makanan halal karena bagaimanapun wisatawan butuh dijamu. Apalagi, wisatawan internasional,” kata Fazal.
Ketua Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia Riyanto Sofyan berpendapat, di kalangan wisatawan masih muncul kekhawatiran dan kesalahan persepsi mengenai pariwisata ramah Muslim. Mereka beranggapan pariwisata ramah Muslim sama dengan wisata religi. Padahal, prinsip pariwisata ramah Muslim sebenarnya cocok untuk semua wisatawan, seperti makanan halal.
”Sertifikasi makanan/restoran halal tidak akan mempersempit pangsa pasar ataupun mengurangi mutu. Justru sebaliknya. Makanya, kami berharap masalah sertifikasi bisa lekas teratasi,” katanya.
Riyanto menambahkan, selain masalah sertifikasi makanan/restoran halal, pelaku industri butuh dukungan pemerintah dalam hal akses permodalan. Apalagi, industri pariwisata belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.
”Pemerintah sempat ingin memberikan bantuan kepada pelaku industri pariwisata, tetapi batal. Mungkin ada refocussing anggaran. Kami berharap agar pemerintah bisa membantu dari sisi kemudahan akses pembiayaan,” tutur Riyanto.