Indonesia Jadi Destinasi Wisata Halal Terbaik Kedua di Dunia 2022
Indonesia menduduki peringkat kedua dari 138 negara destinasi wisata halal terbaik dunia 2022 menurut standar Global Muslim Travel Index. Ada tantangan terkait pengembangan produk halal sebagai subindikator layanan.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menduduki peringkat kedua dari 138 negara sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia menurut standar Global Muslim Travel Index atau GMTI 2022 yang dikeluarkan oleh Mastercard dan CrescentRating. Posisi ini naik dibandingkan dengan pengukuran tahun 2021 yang berada di urutan keempat dunia.
Pada GMTI 2022 yang dirilis Rabu (1/6/2022), Malaysia melanjutkan peringkat pertama, diikuti oleh Turki dan Arab Saudi yang bersama Indonesia menempati peringkat kedua. Uzbekistan melanjutkan pertumbuhannya yang mengesankan untuk mencapai posisi kesembilan.
Di antara negara non-Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), empat negara teratas sebagai destinasi wisata halal terbaik tetap sama, seperti GMTI tahun sebelumnya, yakni Singapura, Taiwan, Inggris, dan Thailand.
GMTI 2022 memiliki empat indikator utama sebagai tolok ukur yang memungkinkan sebuah negara menjadi destinasi menarik lebih banyak wisatawan Muslim. Keempat indikator utama ialah kemudahan akses ke tempat tujuan, komunikasi, lingkungan, dan layanan yang disediakan di destinasi.
Di indikator layanan GMTI 2022, Indonesia masuk ke dalam sepuluh teratas bersama Turki, Malaysia, Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Qatar, Mesir, Brunei Darussalam, dan Maroko. Indonesia juga masih masuk ke dalam sepuluh teratas di indikator komunikasi GMTI 2022, bersama Malaysia, Tunisia, Singapura, Jordania, Uni Emirat Arab, Mesir, Pakistan, Lebanon, dan Uzbekistan. Di dua indikator lain, Indonesia tidak termasuk sepuluh teratas destinasi ramah Muslim.
”Menurut saya, kita harus menciptakan peluang-peluang usaha pariwisata ramah Muslim. Ada beberapa destinasi yang kami unggulkan, seperti Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Lombok, dan Kalimantan Selatan, sebagai destinasi unggulan,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno dalam pernyataan resmi, Rabu.
Sandiaga mengatakan, wisata ramah Muslim bukan berarti islamisasi wisata atraksi, melainkan memberikan layanan tambahan yang terkait dengan fasilitas, turis, atraksi, dan aksesibilitas untuk memenuhi pengalaman dan kebutuhan pariwisata ramah Muslim. Layanan tambahan tersebut di antaranya penyediaan makanan halal hingga layanan keuangan syariah.
Pendiri dan CEO CrescentRating Halal Trip Fazal Bahardeen dalam sambutan di laporan Mastercard-CrescentRating ”Global Muslim Travel Index 2022” mengatakan, kedatangan wisatawan Muslim internasional mencapai 160 juta pada 2019. Setelah gangguan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021, pihaknya memproyeksikan kedatangan wisatawan Muslim internasional akan mencapai 140 juta pada 2023 dan kembali ke level 2019, yakni 160 juta kedatangan wisatawan pada 2024.
Sebelum muncul pandemi Covid-19, Mastercard -CrescentRating memproyeksikan 230 juta kedatangan wisatawan Muslim Internasional pada 2026. Namun, kini, keduanya merevisi proyeksi. Jumlah kedatangan sebanyak itu diperkirakan baru akan tercapai pada 2028 dengan perkiraan pengeluaran 225 miliar dollar AS.
Wisatawan perempuan menjadi salah satu segmen yang tumbuh paling cepat dalam pasar perjalanan Muslim. Mereka membuat sekitar 45 persen dari kedatangan Muslim global.
”Proses pemulihan industri pariwisata rapuh dan dapat terganggu oleh perang yang terus berlanjut di Ukraina, kenaikan harga energi, dan ancaman kesehatan lainnya, seperti varian monkeypox atau Covid-19,” ujar Fazal.
Generasi milenial, Z, dan perempuan merupakan demografi paling berpengaruh dan berkembang pesat dalam populasi Muslim. Sebanyak 70 persen dari dua miliar total perkiraan populasi berusia di bawah 40 tahun. Wisatawan perempuan menjadi salah satu segmen yang tumbuh paling cepat dalam pasar perjalanan Muslim. Mereka membuat sekitar 45 persen dari kedatangan Muslim global.
”Kami tetap optimis bahwa ekonomi akan segera pulih dari kerusakan akibat pandemi. Ketika industri perjalanan bersiap untuk perjalanan internasional yang ditandai dengan kebijakan bebas karantina, kami percaya sektor pariwisata ramah Muslim dapat berkontribusi besar untuk mempercepat pemulihan,” ucap Fazal.
Beda kondisi
Menanggapi pencapaian Indonesia dalam pengukuran GMTI 2022, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Didien Junaedy saat dihubungi hari Kamis (2/6/2022) berpendapat, destinasi pariwisata di Indonesia melimpah dan luas, mulai dari Banda Aceh hingga Lombok. Sementara di negara lain, seperti Malaysia, pengembangan destinasi ramah Muslim cenderung terfokus. Misalnya, Malaysia bagian barat.
”Kemudian, kita harus mengkaji seberapa jauh kesadaran dan ketertarikan pelaku industri pariwisata di Indonesia terhadap pariwisata ramah Muslim. Sebab, kebijakan atau regulasi yang mendukung sudah ada, antara lain sertifikasi halal,” kata Didien.
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia Riyanto Sofyan berpendapat, selama dua tahun pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia memfokuskan ulang anggaran demi penanganan pandemi. Ini salah satunya berdampak ke pemotongan anggaran Kemenparekraf/Baparekraf. Bantuan kepada pelaku usaha parekraf pun terbatas. Situasi itu membuat pandemi yang semestinya bisa dipakai sebagai waktu memperbaiki infrastruktur dan akses ke destinasi pariwisata menjadi tidak maksimal. Padahal, GMTI mengukur indikator kemudahan akses ke tempat tujuan wisata.
Di negara lain, katanya, pemerintah tetap aktif mendukung pelaku industri pariwisata selama pandemi Covid-19. Dia mencontohkan pemerintahan Johor, Malaysia, sempat memberikan grant kepada operator tur (tur guide) ketika negara itu mulai membuka kembali batas bagi wisatawan mancanegara. Pemasukan operator tur paling terdampak karena pembatasan sosial.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dia mengatakan, semua produk, termasuk restoran di Indonesia, harus mengantongi sertifikasi halal. Hanya saja, tantangannya sekarang pengalihan dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementrian Agama. Padahal, produk halal menjadi salah satu subindikator layanan dalam pengukuran GMTI.
”Masih banyak hal harus dikerjakan dari pengalihan itu, seperti lembaga pemeriksa dan penyelia halal. Permintaan sertifikasi halal mulai tinggi walaupun, pada saat bersamaan, Indonesia berhadapan bagaimana mengajak UMKM yang jumlahnya puluhan juta mengajukan sertifikasi,” kata Riyanto yang dalam acara Halal in Travel -Global Summit 2022, kemarin, meraih penghargaan sebagai Pioner Hotel Halal.