Perusahaan Tempuh Diversifikasi untuk Redam Pelambatan Bisnis Layanan Seluler
Diversifikasi bisnis dilakukan oleh operator telekomunikasi seluler di Asia Pasifik untuk mengantisipasi pelambatan pertumbuhan bisnis seluler.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pemeringkat Moody’s memperkirakan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Asia Pasifik akan tetap melakukan diversifikasi aliran pendapatan. Langkah itu ditempuh untuk melawan pelambatan pertumbuhan bisnis inti mereka, yakni di layanan seluler.
Dalam laporan Comparison of Rated Telcos - Asia Pacific yang dirilis pekan lalu, Moody’s menyebutkan, konsolidasi antarperusahaan telekomunikasi telah terjadi di pasar Indonesia, India, Singapura, dan Malaysia dua-tiga tahun terakhir. XL Axiata, misalnya, berkonsolidasi dengan Link Net, sementara Indosat Ooredoo dengan Hutchison Tri Indonesia. Perusahaan telekomunikasi yang berkonsolidasi ini mencari sinergi sebelum belanja kebutuhan penggelaran 5G semakin agresif.
Sejalan dengan tren itu, perusahaan telekomunikasi seperti Singapore Telecommunications Limited dan Axiata Group Berhad telah melakukan akuisisi dan ekspansi ke sektor industri lain. Namun, sektor itu masih berdekatan dengan telekomunikasi, seperti pusat data, keamanan siber, dan berinvestasi di bank digital. Singapore Telecommunications Limited juga telah menggandeng Grab Holdings Ltd untuk merealisasikan bank digital yang diberi nama GXS Bank.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O Basir di Jakarta, Minggu (11/9/2022), mengatakan, di Indonesia, industri telekomunikasi sedang mengarah ke konvergensi layanan jaringan bergerak dan jaringan tetap pita lebar (mobile and fixed broadband). Perusahaan telekomunikasi seluler di Tanah Air sekarang sedang berlomba-lomba mengembangkan bisnis konvergensi itu, seperti XL Axiata dengan Link Net dan layanan IndiHome milik Telkom akan dimasukkan ke Telkomsel.
Pada Jumat (8/9), operator telekomunikasi seluler Indosat Ooredoo Hutchison resmi meluncurkan layanan koneksi internet kabel optik (fiber to the home/FTTH) Indosat HiFi. Produk Indosat HiFi telah tersedia di area Jabodetabek, Yogyakarta, dan Surabaya.
”Persaingan mengarah ke layanan konvergensi ini. Strateginya dikembalikan ke masing-masing operator telekomunikasi seluler. Mau mengembangkan secara organik atau beli dari yang lain,” ujar Marwan.
Dia membenarkan konsumsi transfer data, yang dihitung di dalam satuan waktu bit per detik atau bandwidth, semakin naik. Pelaku industri telekomunikasi seluler di Indonesia sebenarnya sedang membutuhkan tambahan spektrum frekuensi untuk memenuhi tren kenaikan konsumsi data itu, seperti spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz), 700 megahertz (MHz), dan 2,6 GHz.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengumumkan akan melelang spektrum frekuensi 2,1 GHz. ATSI berharap pemerintah juga segera membuka lelang spektrum frekuensi lain.
Direktur Eksekutif Information Communication Technology Institute Heru Sutadi saat dihubungi menjelaskan, jaringan bergerak dan jaringan tetap pita lebar memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan jaringan bergerak adalah mudah dalam implementasi. Satu pemancar bisa menjangkau banyak pengguna. Namun, keterbatasan spektrum frekuensi membuat kecepatan layanan pun terbatas.
Jaringan tetap pita lebar melalui layanan kabel optik ke rumah atau fiber to the home bertujuan menjawab tantangan itu. Akan tetapi, pembangunan layanan ini lebih sulit dan butuh biaya lebih besar. Apalagi, Indonesia merupakan negara kepulauan.
Maka, operator telekomunikasi seluler memutuskan masuk ke bisnis konvergensi layanan seluler sekaligus layanan kabel optik ke rumah. Hanya saja, operator telekomunikasi seluler masih berkutat di daerah yang sudah padat penduduk dan cenderung permintaannya besar.
Heru menambahkan, terjun ke bisnis konvergensi layanan juga bertujuan menambah pengguna yang dalam hal ini pengguna residensial. Sebab, jumlah pengguna perorangan layanan seluler sudah jenuh.
”Konsumsi data di Asia Pasifik terus berkembang. Aksi konsolidasi antaroperator telekomunikasi akan meredam persaingan selama beberapa tahun ke depan. Akuisisi dan ekspansi ke sektor industri lain bertujuan untuk melawan pelambatan bisnis inti (layanan seluler), tetapi kami harap hal itu tidak melemahkan profil kredit mereka,” kata Annalisa di Chiara, Senior Vice President di Moody’s, dalam siaran pers, Kamis (7/9/2022).
Menurut Chiara, aksi korporasi seperti itu akan mendorong pendapatan tumbuh dengan kecepatan 4-4,5 persen hingga tahun 2023. Ini adalah pertumbuhan tercepat sejak 2016.
Belanja modal
Di pasar negara berkembang Asia Pasifik, seperti India, Indonesia, dan Malaysia, kata dia, intensitas belanja modal akan berkisar 33 persen sebagai investasi 5G. Sementara di negara maju, seperti Australia, Hong Kong, dan Singapura, belanja modal diperkirakan tumbuh 16-18 persen. Ini adalah pertumbuhan yang sama dengan dua tahun terakhir.
Analis senior Moody’s, Nidhi Dhruv, mengatakan, sebagian besar perusahaan telekomunikasi di Asia Pasifik dapat mendanai belanja modal mereka dari arus kas internal saat ini meskipun profitabilitas masih tertekan karena persaingan ketat yang masih berlangsung. Leverage atau penggunaan pinjaman dana untuk meningkatkan keuntungan dalam sebuah bisnis saat ini tetap stabil 2,3 hingga 2,5 kali. Ini didukung oleh pertumbuhan Ebitda (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) dan tingkat utang yang relatif tidak berubah mulai tahun 2021.