Jelang Pengujian, Faktor Keselamatan Kereta Cepat Jakarta-Bandung Menjadi Perhatian Utama
Faktor keselamatan kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi perhatian utama, karena untuk pertama kalinya teknologi kereta cepat ini bakal dimiliki oleh Indonesia. Faktor perizinan, aspek teknis, hingga SDM sangat menentukan
JAKARTA, KOMPAS – Faktor keselamatan kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi perhatian utama, karena untuk pertama kalinya teknologi kereta cepat ini bakal dimiliki oleh Indonesia. Kereta cepat ini merupakan proyek kerja sama Indonesia dan China dan rencananya akan ditinjau bersama oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping November mendatang.
Tidak hanya persoalan teknis kereta maupun pembangunan jalur keretanya, sumber daya manusia pun perlu dipersiapkan secara matang. Apabila sudah beroperasi, minat penumpang kereta cepat perlu pula menjadi perhatian, mulai dari besaran tarif hingga kemudahan aksesibilitas stasiun.
Presiden Direktur PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi dalam webinar bertajuk “Pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung” yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (8/9/2022) secara hibrida, memaparkan, “Hingga hari ini, perkembangan investasi proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sudah mencapai sebesar 86 persen, sedangkan perkembangan fisik pembangunannya mencapai 77 persen.”
Menurut Dwiyana, proyek jalur kereta cepat sepanjang 142,3 kilometer ini pertama-tama mesti dipahami sebagai proyek investasi jangka panjang. Secara proporsional, KCIC dimiliki Beijing Yawan HSR Company Limited (konsorsium BUMN Tiongkok) sebesar 40 persen dan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang merupakan konsorsium BUMN Indonesia sebesar 60 persen.
Sementara, secara pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung ini didanai oleh China Development Bank sebesar 75 persen, sementara BUMN China dan Indonesia hanya membiayai sekitar 25 persen.
KCIC ini lahir dari inisiatif BUMN sponsor untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebenarnya, kata Dwiyana, ada investasi sebesar 85 persen dari Tiongkok untuk proyek ini. Susunan konsorsium PSBI sesuai Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015, PT Wijaya Karya Tbk menjadi sponsor utama sekaligus inisiator. Kemudian, PT Kereta Api Indonesia (25 persen), PT Perkebunan Nusantara VIII (25 persen) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (12 persen).
Dalam hal ini, kontraktor China mengerjakan sebesar 70 persen, sedangkan Wika sebesar 30 persen. Memang, alokasi pekerjaan konstruksi yang mengutamakan keselamatan secara keseluruhan itu terkesan tidak berimbang. Semata-mata, kata Dwiyana, hal itu mendasarkan pada kompetensi yang dimiliki oleh BUMN karya saat itu, apalagi teknologi kereta cepat belum dimiliki pengalamannya oleh BUMN karya. Inilah struktur proyek di awal tahun 2015 yang komitmennya dikerjakan sesuai target.
“Menjelang masa konstruksi selesai, memang semestinya KAI sebagai operator perkeretaapian Indonesia yang mengambil alih, sedangkan Wika tetap menjadi leading sponsor. Tahapan berikutnya, bagaimana secara parallel kita bisa menyiapkan operasi dan pemeliharaan secara baik yang saat ini sedang kita kerjakan,” jelas Dwiyana.
Terkait pembiayaan, lanjut Dwiyana, hal itu dimungkinkan dengan menggunakan APBN. Namun, alokasi APBN bukan ditujukan langsung ke proyek ini, melainkan menginjeksi BUMN Indonesia. Sebab, empat BUMN sponsor KCIC dari sisi Indonesia belum memiliki kemampuan finansial yang cukup akibat pandemi Covid-19.
Proses pemulihan membuat pemerintah perlu memberikan jaminan kepada PT KAI sebagai leading sponsor untuk bisa membiayai terkait modal, termasuk adanya biaya lain yang terjadi. “Secara skema proyek, saat ini kita masih business to business. Bukan government to government,” tegas Dwiyana.
Rute pelayanan
Kereta api cepat sepanjang 142,3 kilometer ini akan memiliki rute pelayanan dari Stasiun Halim Perdanakusuma, Karawang, Padalarang dan Tegalluar. KCIC menilai, jalur ini secara ekonomi belum optimal. Diharapkan, agar skala ekonomi tercapai dengan baik, setelah jalur Jakarta-Bandung selesai, proyek serupa bisa dilanjutkan untuk melayani rute Karawang-Surabaya atau Bandung-Surabaya.
Edi Nursalam, Direktur Keselamatan Direktorat Jenderal Perkeretaapian, keberadaan kereta cepat ini memiliki tantangan tersendiri. Sebab, selama ini kita sudah memiliki jalan tol Jakarta-Bandung. Tidak lama lagi, jalan tol Cikampek-II akan memangkas perjalanan Jakarta-Bandung, hanya 1 jam.
“Pemerintah harus memproteksi terhadap operasi kereta cepat. Kita sudah punya pengalaman kereta bandara Kualanamu yang sampai hari ini masih sepi penumpang, begitu juga kereta bandara Soekarno-Hatta dan LRT Palembang pun sama kondisinya. Kita tidak menginginkan kereta cepat yang sudah dibiayai dengan biaya besar, kurang diminati atau sepi juga penumpangnya,” ujar Edi.
Edi menegaskan, teknologi kereta cepat perlu dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, teknologi tinggi memberikan banyak kemudahan dan peningkatan pelayanan. Namun, di sisi lain, teknologi tinggi juga menghasilkan risiko tinggi, sehingga perlu perencanaan mitigasi yang matang.
Oleh karena itu, operasional kereta cepat ini haruslah dipayungi dengan regulasi dan prosedur standar operasional yang memadai oleh operatornya. Sumber daya manusia pun harus tersertifikasi agar dapat mengawa keselamatan penumpang dan awaknya.
General Manajer LRT Railway System and Operation, Hanggoro, mengatakan, pembangunan proyek ini telah menempuh berbagai perizinan. Bahkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengapresiasi KCIC, karena proyek ini merupakan proyek kereta api yang paling lengkap perizinannya. “Prosedurnya panjang, persyaratannya berat,” ujar Hanggoro.
Widjanarko, Expert Maintenance KCIC, mengakui, kereta yang aerodinamis ini adalah sesuatu yang baru bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tak heran, saat pengangkutan kereta berpenggerak listrik atau secara teknis disebut electrical multiple unit (EMU) ini menghebohkan pecinta kereta api. Sampai saat ini, kereta masih berada di daerah Cakung untuk diangkut ke Stasiun Tegalluar, Jawa Barat.
Spesifikasi tipe kereta yang akan dioperasikan adalah CR 400AF dengan tegangan listrik sebesar 25Kv 50Hz, sedangkan tenaga yang dibutuhkan mencapai 9.750 kW. Kecepatan maksimum kereta ini mencapai 400 kilometer/jam. Beban angkut mencapai 17 ton per excel. Panjang rangkaian mencapai 208 meter.
“Akselerasi kecepatannya mencapai 0,4 meter per detik atau lebih cepat dibandingkan MRT yang mencapai 0,8-0,9 meter per detik. Dari stasiun ke stasiun dengan kecepatan 200 kilometer per jam, diperkirakan akan dicapai sekitar 2-3 menit,” jelas Widjanarko.
Gerbong kereta ini terdiri dari kelas VIP hanya 18 tempat duduk, kelas I sebanyak 28 tempat duduk, sedangkan kelas II hampir mencapai 555 tempat duduk. Konfirgurasi tempat duduk setiap kelasnya pun dibuat berbeda untuk menciptakan kenyamanan di kelasnya.
Baca juga : Rangkaian Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tiba di Jakarta
Ida Hidayati, Corporate Deputy Director of Personel Care, Control and Development KCJB, menjelaskan, studi kelayakan pernah dilakukan pada tahun 2017. Hasilnya, pengoperasian kereta cepat ini terbagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama terkait persiapan, seluruhnya dipegang oleh tenaga ahli dari China, mulai dari formulasi teknikal, standar dan aturan keamanannya.
Mulai tahun 2019, pada tahap kedua pengerjaan, China masih memimpin terkait sumber daya manusia. Orang-orang Indonesia memang bergabung, tetapi bukan sebagai pemain utama. Baru kemudian, tahap ketiga, semakin banyak orang Indonesia yang masuk, termasuk bagian perawatan keretanya.
“Tentunya, dilakukan dengan pendamping dari tenaga ahli China lebih dahulu. Prinsipnya, tahap ketiga terjadi transisi. Orang Indonesia mulai ditempatkan pada posisi penting. Tahap keempat, Indonesia mulai ambil alih, tetapi tetap masih ada sedikit tenaga ahli dari China untuk mendampingi,” kata Ida.
Nantinya, kata Ida, terkait konsep manajemen kerja sama, pertama, kereta ini akan sepenuhnya dioperasikan oleh SDM Indonesia dengan rencana awal sebanyak 100.000 perjalanan dan mengangkut 6.000 penumpang per hari. Kedua, SDM Indonesia terlibat sepenuhnya dan berlaku setelah operasional kereta cepat.
Tahap awal, kata Ida, memang SDM China yang berpengalaman dan bersertifikat akan ditempatkan dalam operasional sesuai dengan bidang kerjanya. SDM China ini juga akan menangani 100 persen untuk posisi-posisi tertentu di awal pengoperasian. Selanjutnya, akan dipegang oleh SDM Indonesia. Tentu, semua ini terkait dengan faktor keselamatan dan kenyamanan yang harus diutamakan.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menambahkan, keberadaan kereta cepat tidak hanya memikirkan performa kereta dan penyediaan stasiunnya. Hal yang tak kalah penting adalah memikirkan secara matang aksesibilitas penumpangnya. Moda transportasi yang terkoneksi maupun penyediaan alat transportasi, termasuk akses jalan menuju stasiunnya.
“Di banyak negara, keberadaan kereta cepat mampu mengalihkan pengguna pesawat terbang. Jika tidak direncanakan matang, peminat kereta cepat tentu takkan mencapai sesuai target yang diharapkan semua pihak,” kata Djoko.