Pemerintah Antisipasi Ketidakpastian Global di Tahun 2023
APBN 2023 akan dihadapkan pada tantangan dan tugas berat untuk menjadi peredam gejolak ekonomi di tengah masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyeksi kenaikan suku bunga negara-negara maju pada 2023 menjadi momok bagi kinerja ekspor dan konsumsi domestik. Meski demikian, APBN 2023 punya fleksibilitas untuk mengelola gejolak ekonomi yang disebabkan ketidakpastian global tahun depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Rabu (31/8/2022), menyampaikan, kenaikan suku bunga bank sentral negara maju pada tahun depan akan memukul pertumbuhan ekonomi global.
Situasi tersebut dapat berdampak pada kinerja ekspor Indonesia yang dalam beberapa triwulan terakhir telah menjadi penopang kinerja ekonomi Indonesia. ”Kinerja ekspor yang dalam beberapa waktu terakhir tumbuh dua digit diperkirakan hanya naik 8 persen pada 2023,” ujarnya.
Upaya untuk mencapai konsolidasi fiskal tetap akan dilakukan dalam koridor fungsi APBN sebagai instrumen pelindung dan pengaman ekonomi dan masyarakat di tengah gejolak ekonomi global.
Sikap agresif bank sentral dalam menaikkan suku bunga tahun depan menjadi langkah antisipasi dari lonjakan inflasi global yang sudah terjadi sejak tahun ini. Tren inflasi yang masih terus berlanjut akan menekan konsumsi rumah tangga yang turut merasakan dampak pelemahan.
”Kenaikan suku bunga diperkirakan akan memukul pertumbuhan ekonomi dan akan berpotensi mengenai Indonesia dari sisi ekspor, sehingga ada potensi penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 dari semula sebesar 5,3 persen,” kata Sri Mulyani.
APBN 2023 akan dihadapkan pada tantangan dan tugas berat untuk menjadi peredam gejolak ekonomi di tengah masyarakat. Sejak terjadinya pandemi Covid-19 pada 2020, Sri Mulyani menuturkan bahwa APBN telah dan terus bekerja sangat keras untuk melindungi rakyat dan perekonomian yang menyebabkan defisit meningkat tajam.
Pada tahun 2023, defisit APBN diamanatkan untuk kembali ke level normal, yaitu di bawah 3 persen PDB. Upaya untuk mencapai konsolidasi fiskal tetap akan dilakukan dalam koridor fungsi APBN sebagai instrumen pelindung dan pengaman ekonomi dan masyarakat di tengah gejolak ekonomi global.
”Ini menjadi strategi menjaga keberlangsungan pembangunan dan kemajuan ekonomi di satu sisi dan di sisi yang lain menjaga keberlanjutan kesehatan dari APBN itu sendiri,” kata Sri Mulyani.
Nilai tukar
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, sejalan dengan situasi global yang tak menentu, nilai tukar rupiah pada 2023 berpeluang menembus Rp 15.200 per dollar AS. ”Adapun di sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah diproyeksi berada di level Rp 14.500-Rp 14.900 per dollar AS,” kata Perry.
Meski potensi pelemahan nilai tukar rupiah terbuka lebar tahun depan, Perry menjelaskan, terdapat dua sentimen positif yang dapat mengerek penguatan nilai tukar, yakni neraca pembayaran yang positif dan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
”Di tengah ancaman penurunan nilai tukar rupiah, BI akan terus menjaga stabilitas ekonomi, termasuk menjaga angka inflasi agar tidak terlalu tinggi,” ujarnya.
Secara umum, lanjut Perry, situasi keuangan global pada 2023 masih akan diselimuti ketidakpastian yang dipicu oleh gangguan rantai pasok global, konflik geopolitik, dan gejolak sosial di negara-negara maju. ”Perkembangan-perkembangan ini sangat dinamis. Berbagai ketidakpastian itu mempersulit kita untuk memperkirakan kondisi ekonomi global ke depannya,” ujar Perry.
Industri keuangan
Di tengah gejolak ekonomi global, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar melihat terdapat perbaikan dan pemulihan di industri jasa keuangan. Hal ini terefleksi dari pertumbuhan penyaluran kredit dan profil risiko industri perbankan yang semakin rendah.
”Fungsi intermediasi semakin baik yang tecermin pada peningkatan kredit yang konsisten diatas 10 persen dalam dua bulan terakhir ini,” kata Mahendra.
Di luar peningkatan pertumbuhan kredit, terdapat penurunan dana pihak ketiga (DPK) jika dibandingkan dengan kondisi saat pandemi, yaitu pada tahun 2020. Mahendra menyimpulkan bahwa masyarakat tidak lagi menyimpan dananya di bank dalam bentuk tabungan dan deposito, melainkan bergeser pada instrumen yang lebih produktif.
Permodalan dari industri perbankan juga memperlihatkan kondisi yang terjaga dengan baik. Hal itu tecermin dari rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 25 persen. Kondisi tersebut dapat meningkatkan tingkat keuntungan atau profitabilitas perbankan maupun efisiensi dalam operasional bank.