Kenaikan harga BBM bisa berdampak pada inflasi, kenaikan suku bunga, penurunan daya beli masyarakat, hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh pemangku kepentingan ekonomi, baik dunia usaha maupun pengambil keputusan, perlu mewaspadai efek rambatan dari harga bahan bakar minyak atau BBM subsidi yang akan dinaikkan dalam waktu dekat. Kenaikan harga BBM akan meningkatkan inflasi yang menggerus daya beli sehingga bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Ketika menjadi pemateri dalam acara Journalist Class yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Selasa (30/8/2022), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, kendati berbagai indikator ekonomi mencatat capaian positif pada semester pertama tahun ini, tetapi semua pihak perlu mewaspadai potensi kenaikan harga BBM subsidi atau pertalite yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat.
”Kenaikan harga pertalite ini berpotensi menciptakan efek beruntun ke banyak hal tak hanya ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga kepada stabilitas sektor keuangan. Ini yang perlu diwaspadai semua pihak,” ujar Budi.
Budi menjelaskan, kenaikan harga pertalite akan secara otomatis meningkatkan inflasi. Sebab, bahan bakar merupakan salah satu unsur ongkos produksi dunia usaha. Produsen pun akan mentransmisikan kenaikan ongkos produksi tersebut dengan kenaikan harga jual.
Menurut penghitungannya, apabila pertalite dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter, inflasi akan terkerek sampai 8 persen hingga akhir tahun. Adapun inflasi pada Juli 2022 mencapai 4,94 persen.
Kenaikan inflasi itu akan mendorong kenaikan suku bunga bank sentral dan kemudian suku bunga bank termasuk kredit. Dampaknya ke dunia usaha, beban biaya bunga kredit akan meningkat. Laba perusahaan akan menyusut. Inflasi juga akan menggerus daya beli yang menurunkan permintaan atau konsumsi rumah tangga.
”Pada akhirnya ini semua akan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Budi.
Untuk mengantisipasi hal ini, menurut Budi, pemerintah dihadapkan pada dilema, apakah meneruskan pemberian subsidi energi, tetapi membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau melepaskan subsidi energi, tetapi inflasi terkerek naik.
Menurut dia, membengkaknya subsidi energi sulit dihindarkan sebab harga minyak dunia masih tinggi. Kalau pun ingin meningkatkan subsidi energi, defisit anggaran perlu ditutup dengan utang. Dampaknya, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat.
Pemerintah juga tak bisa mengharapkan tambahan anggaran secara terus-menerus dari ekspor komoditas global. Pelambatan ekonomi di sejumlah negara dunia turut menurunkan permintaan ekspor sehingga potensi pertumbuhan ekonomi dari ekspor juga akan menurun.
Tetap bertahan
Kendati dihadapkan dalam pilihan sulit, Budi meyakini, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap berlanjut. Sebab, sejatinya kondisi fundamental Indonesia dalam kondisi kuat dan positif.
”Permintaan dalam negeri masih baik selama daya beli bisa terjaga. Ini yang akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi,” ujar Budi.
Pada saat memberikan kata sambutan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, gejolak perekonomian dunia yang merambat ke Indonesia ini adalah keniscayaan yang harus dihadapi. ”Tinggal kita lihat seberapa besar dan berapa lama badai yang akan kita hadapi,” ujar Mahendra.
Mahendra juga optimistis perekonomian Indonesia tetap berlanjut. Salah satu sumber keyakinannya adalah fundamental perekonomian Indonesia lebih baik ketimbang berbagai negara dunia dan sudah lebih baik dari pandemi. Namun, Mahendra juga mengakui masih ada sejumlah sektor ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Menurut dia, Indonesia bisa bertumbuh lebih baik lantaran koordinasi dan kerja sama yang solid dari semua pihak. ”Pelajaran berharga ini yang akan coba kita pakai lagi untuk menghadapi tekanan mendatang,” ujar Mahendra.