BUMN Terus Kembangkan ”Superapp” Keuangan dan Kesehatan
Pengembangan ”superapp” dan ”start up” terus dilakukan BUMN guna memperkuat ekosistem digital RI dan bisnis perusahaan. BUMN diminta tidak berinvestasi pada perusahaan digital yang menerapkan praktik ”predatory pricing”.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Badan Usaha Milik Negara terus mengembangkan investasi digital di bidang keuangan dan kesehatan. Investasi itu, antara lain, menyasar pengembangan aplikasi super atau superapp dan perusahaan rintisan atau start up.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo, Kamis (25/8/2022), mengatakan, investasi digital BUMN yang sedang dibangun dan sudah mulai menghasilkan ada di dua ekosistem, yakni keuangan dan kesehatan. Di ekosistem keuangan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk telah mengembangkan Livin’ dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dengan BRImo.
Livin’ sudah menjadi aplikasi super yang lengkap, baik untuk transaksi keuangan maupun pembelian tiket pesawat dan konser. Saat ini, Livin’ tengah dikembangkan agar bisa menjual produk-produk ekosistem start up PT Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak perusahaan Bank Mandiri.
”Hingga kini, MCI masih terus mengembangkan start up guna menumbuhkan ekonomi digital di Indonesia dan meningkatkan kolaborasi model bisnis baru. Memang pada tahap awal bakal merugi karena membiayai perusahaan yang baru dirintis. Namun, risiko kerugian itu dikelola secara hati-hati melalui diversifikasi portofolio,” ujarnya dalam Rapat Panitia Kerja Investasi BUMN pada Perusahaan Digital di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar secara hibrida.
Investasi digital BUMN yang sedang dibangun dan sudah mulai menghasilkan ada di dua ekosistem, yakni keuangan dan kesehatan.
Sejak didirikan pada 2015, MCI telah merealisasikan investasi sebesar Rp 1,4 triliun kepada 20 perusahaan rintisan yang bergerak di berbagai sektor dan yang berbasis tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan (ESG). Adapun beberapa contoh portofolio MCI saat ini adalah AgriAku, Amartha, Ayoconnect, Cakap, Crowde, GoTo, Greenhope, iSeller, Koinworks, LinkAja, Mekari, PrivyID, Qoala, dan Yokke.
Menurut Kartika, BRImo yang lebih banyak digunakan oleh masyarakat dari berbagai kelas juga terus dikembangkan. Aplikasi yang digunakan oleh 14 juta pengunduh aktif ini mulai dikembangkan untuk mendukung sektor pariwisata dan penerbangan.
Sementara di sektor kesehatan, Kementerian BUMN akan meluncurkan Indonesian Healthcare Ecosystem. Eksosistem ini diwadahi aplikasi yang menggabungkan telemedicine, konsultasi dokter, klaim asuransi, dan penjualan obat-obatan produksi Kimia Farma.
”Di samping itu, aplikasi Peduli Lindungi yang dibangun oleh Telkomsel akan dikembangkan untuk melayani sektor-sektor lain pascapandemi ini. Aplikasi ini sudah diunduh oleh sekitar 90 juta pengunduh. Sayang jika tidak terpakai setelah pandemi selesai,” katanya.
Selain untuk memonitor dan melacak Covid-19, Peduli Lindungi juga pernah digunakan pemerintah untuk transaksi pembelian minyak goreng curah rakyat. Menteri BUMN Erick Thohir bahkan mencetuskan aplikasi itu digunakan untuk menopang sistem data sosial masyarakat berbasis social security number (nomor jaminan sosial).
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Rabu lalu, Erick menuturkan, pascapandemi, aplikasi Peduli Lindungi bisa menjadi sarana untuk menyalurkan bantuan sosial, bahkan bahan bakar minyak (BBM) subsidi agar lebih tepat sasaran. Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju yang memiliki nomor jaminan sosial yang menjadi acuan pengguliran bantuan sosial ataupun subsidi.
Saya juga meminta agar perusahaan-perusahaan negara tidak berinvestasi pada perusahaan-perusahaan digital yang kerap melakukan praktik predatory pricing atau menjual produk dengan harga rendah.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto, meminta Kementerian BUMN berhati-hati dalam memilih dan mengelola investasi yang digulirkan pada perusahaan-perusahaan rintisan. Ia juga berharap agar Kementerian BUMN membuat kriteria investasi yang jelas dalam memilih perusahaan digital agar tidak terjadi fraud (kecurangan) dan konflik kepentingan.
”Saya juga meminta agar perusahaan-perusahaan negara tidak berinvestasi pada perusahaan-perusahaan digital yang kerap melakukan praktik predatory pricing atau menjual produk dengan harga rendah. Jika hal itu dilakukan, akan merugikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah,” ujarnya.