Inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa masih akan menghantui Surabaya, Jawa Timur, sehingga perlu penguatan koordinasi untuk pengendaliannya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa membayangi Surabaya, ibu kota Jawa Timur, dua bulan terakhir. Inflasi perlu dikendalikan agar tidak membuat kemerosotan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, Pemerintah Kota Surabaya memperkuat koordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya mencatat, inflasi menanjak dua bulan terakhir. Pada Juni 2022, Surabaya mengalami inflasi 0,46 persen. Bulan lalu, inflasi menjadi 0,58 persen. Kenaikan seolah tidak besar, tetapi bisa menjadi masalah jika di bulan-bulan berikutnya terus naik.
Padahal, setahun lalu, inflasi secara total 4,96 persen. Kenaikan inflasi sepanjang tahun ini berpotensi lebih besar daripada 2021. Jika tidak dikendalikan, inflasi dapat mengakibatkan kemerosotan kualitas hidup masyarakat.
Pantauan Kompas di sejumlah pasar, Selasa (23/8/2022), memperlihatkan kenaikan harga bahan pangan pokok terus terjadi dan berkecenderungan signifikan. Misalnya, telur ayam ras kini dijual Rp 30.000-Rp 31.000 per kilogram (kg).
Padahal, bulan-bulan sebelumnya, harga masih di kisaran Rp 25.000-Rp 27.000 per kg. Harga sebelumnya juga meningkat dari Rp 21.000-Rp 23.000 per kg.
Bahan lauk, yakni tempe atau tahu, biasanya dijual Rp 4.000 per kotak menjadi Rp 5.000-Rp 6.000. Tempe bungkus daun pisang yang dijual Rp 1.000 per satuan tidak mengalami kenaikan harga, tetapi penyusutan ukuran hingga separuhnya.
Harga mi instan juga telah naik di kisaran Rp 300-Rp 600 per bungkus. Kenaikan harga itu memang belum signifikan, tetapi bisa bermasalah jika terus-menerus terjadi sampai akhir tahun.
Ukurannya dibikin sedikit kecil, yang biasanya ada isinya jadi enggak ada. (Solihin)
”Kalau harga naik terus, ya, kasihan masyarakat,” kata Abidin, penjual tempe tahu di Pasar Wonokromo. Kenaikan harga yang tidak dikendalikan bisa mengakibatkan nilai uang kian tidak perkasa untuk membeli bahan pangan pokok. Misalnya, Rp 5.000 sudah bisa mendapatkan sekotak tempe, tetapi untuk ukuran yang sama tahun depan mungkin harganya sudah dua kali lipat.
Kenaikan harga bahan pangan juga memaksa penjual makanan minuman menguras pikiran agar dagangan tetap laku. Modifikasi terpaksa ditempuh, terutama oleh pengasong jajanan, dengan mengecilkan ukuran jajanan atau menghilangkan bahan tertentu, tetapi belum sampai menaikkan harga jual.
Secara terpisah, Wakil Wali Kota Surabaya Armuji mengatakan, inflasi berpotensi menanjak karena dipicu, misalnya, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi (pertalite).
Pemerintah berencana mengambil kebijakan itu untuk mengimbangi kenaikan harga minyak dunia yang salah satunya dipicu perang Ukraina-Rusia. Harga bahan pangan dari gandum juga terkerek akibat konflik berdarah dua negara sejak Februari 2022 itu.
Rencana kenaikan harga pertalite, menurut Armuji, dapat berdampak terhadap pergerakan indeks harga konsumen sebagai komponen inflasi. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat koordinasi dengan TPID dengan harapan dapat mengendalikan kenaikan harga.
”Yang mengalami kenaikan cukup signifikan di antaranya makanan. minuman, dan transportasi. Akan dikoordinasikan untuk mengambil langkah antisipasi,” ujar Armuji, politikus PDI-P.
Armuji meneruskan, kebijakan menggelar operasi pasar akan kembali ditempuh ketika terjadi lonjakan harga suatu komoditas. Tim juga terus mengawasi pergerakan harian harga komoditas sehingga potensi lonjakan harga bisa dicegah atau setidaknya ditahan selama mungkin.
Memangkas
Selain itu, berkoordinasi dengan sentra produksi bahan pokok untuk memangkas rantai distribusi sehingga diharapkan dapat menekan potensi kenaikan harga.
”Kami juga akan mengecek ketersediaan bahan pangan dan memastikan tidak terjadi penimbunan yang bisa menimbulkan masalah sosial,” kata Armuji, mantan Ketua DPRD Kota Surabaya.
Tim terpadu diharapkan mampu mengantisipasi lonjakan harga dengan menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang efektif.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menyebut selama ini Jatim telah swasembada beras sehingga provinsi dengan penduduk 40 juta jiwa ini surplus beras pada 2021 sebanyak 1,3 juta ton. Kontribusi Jatim pada produki beras nasional rata-rata sekitar 18 persen.
Emil menyebutkan, pada 2021, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 9,789 juta ton. Jumlah itu hasil panen dari lahan seluas 1,747 juta hektar. Dari seluruh GKG itu menjadi sebanyak 5,6 juta ton beras.
Menurut mantan Bupati Trenggalek ini, untuk tingkat konsumsi beras di Jatim tercatat 4,34 juta ton atau surplus 1,3 juta ton pada 2021. Secara nasional, produksi GKG sebanyak 54,42 juta ton atau setara dengan beras 31,3 juta ton.
Berdasarkan BPS Jatim, konsumsi beras di luar rumah tangga yakni sektor perhotelan, restoran, rumah makan, serta penyedia makanan minuman dan jasa kesehatan.