Dukungan Sektor Keuangan untuk Transisi Sektor Riil Terus Diperkuat
Para pemangku kepentingan ekonomi nasional perlu bersama mengidentifikasi lebih lanjut potensi pembiayaan berkelanjutan atau investasi berdampak untuk sektor ekonomi potensial dalam transisi menuju ekonomi hijau.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem keuangan perlu mendukung aktivitas sektor riil yang lebih berorientasi pada kelestarian untuk memitigasi potensi degradasi ekonomi akibat dampak dari perubahan iklim. Di sisi lain, stimulus makroprudensial tak henti merangsang sektor swasta untuk bertransisi menuju orientasi bisnis yang lebih berkelanjutan mengingat kapasitas fiskal untuk mendorong transisi ekonomi hijau terbatas
Direktur Kebijakan Internasional Bank Indonesia (BI), yang juga menjadi perwakilan BI dalam Presidency Chair Sustainable Finance Working Group (SFWG) G20, Haris Munandar menekankan dari perspektif ekonomi makro, perubahan iklim berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Terhentinya aktivitas ekonomi riil akibat bencana ekologis berpengaruh negatif pada pasar keuangan.
”Masalah perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif, termasuk bank sentral karena perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral,” kata Haris dalam diskusi bertajuk ”Peran Kita: Indonesia Menuju Keuangan Berkelanjutan” secara hibrida di Jakarta, Senin (22/8/2022).
Untuk mendorong sistem keuangan menjadi lebih hijau, BI telah mengeluarkan kebijakan makroprudensial pada akhir 2019 berupa relaksasi loan to value (LTV) dalam penyaluran kredit properti, di mana tambahan relaksasi LTV sebesar 5 persen diberikan pada properti yang berwawasan lingkungan.
Selain itu, BI juga telah menetapkan kebijakan ekonomi-keuangan yang inklusif dan hijau sebagai salah satu dari lima bauran kebijakan utama di samping kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, dan pendalaman pasar uang.
”Ke depannya BI juga akan melanjutkan kebijakan keuangan hijau yang bertujuan untuk memitigasi risiko stabilitas sistem keuangan,” kata Haris.
Untuk mendorong sistem keuangan menjadi lebih hijau, BI telah mengeluarkan kebijakan makroprudensial pada akhir 2019 berupa relaksasi loan to value (LTV) dalam penyaluran kredit properti, di mana tambahan relaksasi LTV sebesar 5 persen diberikan pada properti yang berwawasan lingkungan.
Sementara itu dari sisi fiskal, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Dian Lestari, mengatakan pemerintah telah memberikan berbagai fasilitasi perpajakan, termasuk adanya insentif perpajakan atau tax holiday untuk pelaku industri di tanah air yang mendukung transisi energi.
”Selain dari sisi pajak, fasilitas pembebasan bea masuk juga diberikan untuk berbagai barang dan produk yang ditujukan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan di Tanah Air,” ujarnya.
Berbagai upaya tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Paris di tahun 2015 terkait Nationally Determined Contributions (NDC) yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional di 2030.
Dian mengatakan, meskipun sudah banyak instrumen fiskal dan anggaran belanja yang dialokasikan untuk transisi menuju ekonomi hijau, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya bisa mencukupi 30 persen dari total pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen pengurangan 29 persen emisi di tahun 2030.
Oleh karena itu, keterlibatan sektor-sektor swasta yang telah diberikan stimulus kebijakan makroprudensial dalam melakukan transisi bisnis menuju skema yang lebih hijau, akan turut membantu APBN yang sudah mengalokasikan anggaran dalam upaya mencapai transisi energi.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga tahun 2030, Indonesia membutuhkan pembiayaan atau investasi sektor berkelanjutan sebesar Rp 67.803 triliun. Sementara data OJK hingga akhir 2021 menunjukkan bahwa nilai dari penyaluran kredit hijau ditambah penerbitan obligasi berkelanjutan perbankan baru sekitar Rp 881,9 triliun.
”Maka sisanya bisa dilengkapi dan disempurnakan oleh sektor swasta dengan sendirinya secara organik, secara dari dalam yaitu melakukan internal investment,” kata Dian.
Transisi energi adalah satu-satunya cara menurunkan emisi karbon. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai upaya dalam transisi energi. Salah satunya, yakni berbagai rencana pembiayaan seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Namun, Dian memahami betul ketergantungan Indonesia yang tinggi kepada energi fosil akan menambah rintangan dalam upaya memitigasi perubahan iklim. Untuk itu, para pemangku kepentingan akan bersama mengidentifikasi lebih lanjut potensi investasi hijau untuk sektor-sektor ekonomi potensial dalam transisi menuju ekonomi hijau.
Degradasi ekonomi
Dian mengatakan disrupsi akibat bencana ekologis yang disebabkan perubahan iklim, bisa berdampak terhadap pembangunan Indonesia mencapai 3 persen hingga 5 persen. Kerusakan akibat bencana alam membuat pemerintah perlu menggelontorkan anggaran untuk menopang kegiatan ekonomi dan bantuan sosial, sehingga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, utang publik, dan inflasi.
Dampak perubahan iklim terhadap perekonomian nasional, lanjut Dian, dapat dikatakan lebih merusak ketimbang dampak akibat pandemi Covid-19. Indonesia masuk 12 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim sehingga Tanah Air telah dianggap dunia sebagai supermarket bencana yang disebabkan perubahan iklim.
”Kalau dari sisi kebijakan hal ini tidak diatasi, dampak dari berbagai bencana akibat perubahan iklim atau bencana hidrometeorologi itu akan semakin besar pengaruhnya menggerus kinerja ekonomi yang sudah tercapai sejauh ini," kata Dian.
Dalam kesempatan sama, Sustainable Finance Program Lead World Wildlife Fund (WWF) Indonesia Rizkiasari Yudawinata mengatakan Indonesia bisa melakukan efisiensi produksi dengan memperhatikan faktor alam, iklim dan lingkungan sosial dalam upaya meminimalisir terjadinya perubahan iklim.
“Saat ini, menurut dia, sudah ada ketidakseimbangan dari sisi supply and demand sumber daya alam. Dalam hal pencapaian untuk menuju kemakmuran, kita cenderung menggunakan cara-cara yang sifatnya tidak lestari,” ujar Rizki.
Menurut dia, sistem ekonomi hijau sendiri dianggap sebagai solusi dari sistem ekonomi eksploitatif serta cenderung merusak lingkungan. Gagasan ekonomi hijau bertujuan untuk memberikan peluang yang besar dalam menunjang pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada aspek lingkungan, terutama terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.
Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu. Ketika terjadi kenaikan suhu secara ekstrem di suatu wilayah, maka hal ini akan berimplikasi pada penurunan produktivitas masyarakat.
Sebelumnya, dalam peluncuran Indeks Ekonomi Hijau di Nusa Dua, Bali, pertengahan Agustus, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam menyampaikan, berdasarkan kalkulasi Bappenas, dampak ekonomi dari perubahan iklim selama 2020 sampai 2024 mencapai Rp 408 triliun.
“Secara rata-rata, kerugian ekonomi yang dialami karena bencana hidrometeorologi tiap tahunnya adalah sebesar Rp 81,6 triliun,” ujarnya.
Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu. Ketika terjadi kenaikan suhu secara ekstrem di suatu wilayah, maka hal ini akan berimplikasi ke produktivitas masyarakat. ”Dampak perubahan iklim akan memicu bencana ekologis seperti banjir, longsor, kekeringan, hingga kebakaran. Hal ini akan berdampak ke produktivitas masyarakat,” kata Medrilzam.