Saat menyampaikan pidato kunci webinar, ekonom senior yang juga tokoh lingkungan hidup, Emil Salim, menyoroti kebijakan pemerintah yang memilih tahun 2060 sebagai target tercapainya emisi nol. Padahal, banyak negara menargetkan untuk mencapai emisi nol di tahun 2050.
Kebijakan pemerintah saat ini belum total dalam mengurangi penggunaan energi berbasis fosil. (Emil Salim)
Ia mengingatkan para pemangku kebijakan bahwa mayoritas sumber energi Indonesia masih bergantung pada batubara. Penggunaan energi fosil tersebut menjadi salah satu faktor pendorong perubahan iklim yang memicu bencana ekologis.
”Dengan begitu, Indonesia punya kepentingan untuk menjaga perubahan iklim, mengingat dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh bencana yang diakibatkan perubahan iklim sangat besar,” ujarnya.
Emil mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini belum total dalam mengurangi penggunaan energi berbasis fosil. Ia mencontohkan, pemerintah masih memberikan subsidi kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk berbelanja batubara. Kondisi ini mencerminkan kebijakan energi Indonesia masih mendorong penggunaan batubara.
Baca juga: Harga Listrik Energi Terbarukan Jadi Kunci Pengembangan
Padahal, di sisi lain, lanjutnya, pemerintah telah memproyeksi pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan susut hingga 3,45 persen pada 2030 apabila dampak perubahan iklim tidak segera dimitigasi.
”Jika pemerintah belum mengambil prakarsa, bagaimana mau berharap masyarakat bisa tergerak untuk maju. Kalau pemerintah tidak mempercepat transisi dari energi kotor ke energi bersih, agak sulit ekonomi hijau untuk berkembang,” ujarnya.
Penopang transisi
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Dian Lestari mengatakan, saat ini seluruh komponen anggaran, yakni pendapatan, belanja, dan pembiayaan, telah diarahkan untuk menopang transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau.
Dari komponen pendapatan, Dian memaparkan, pemerintah telah menggelontorkan instrumen pajak untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau, di antaranya tax holiday, tax allowance, pembebasan bea impor masuk, hingga relaksasi Pajak Bumi Bangunan (PBB) untuk sektor energi baru terbarukan.
”Sejak tahun lalu, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan PPNBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) dengan dasar pengenaan pajak nol persen untuk mobil listrik,” ujarnya.
Pada komponen belanja, pemerintah mendorong agar program pembangunan di tingkat pusat dan daerah diarahkan pada program yang mendukung mitigasi perubahan iklim. Untuk optimalisasi belanja, pemerintah pusat dan daerah melakukan penandaan terhadap besaran dana yang dikeluarkan untuk program mitigasi perubahan iklim.
”Penandaan sudah dilakukan sejak 2016 di mana kita mengetahui kemampuan anggaran pemerintah itu bisa mencapai Rp 3.500 triliun untuk mencapai penurunan emisi karbon sebanyak 29 persen di tahun 2030 tanpa bantuan internasional,” kata Dian.
Di pasar domestik kita keluarkan green sukuk ritel dari 2019 sudah mencapai Rp 11 triliun. Dari instrumen pembiayaan kita juga membentuk BLU (badan layanan umum) untuk bisa menjaring kerja sama berbagai pihak terkait lingkungan hidup
Sementara itu, pada komponen pembiayaan atau utang, sejak 2018, pemerintah mengeluarkan green sukuk. Di pasar global, pemerintah telah memobilisasi sekitar 3,5 juta dollar AS global green sukuk.
”Di pasar domestik kita keluarkan green sukuk ritel dari 2019 sudah mencapai Rp 11 triliun. Dari instrumen pembiayaan kita juga membentuk BLU (badan layanan umum) untuk bisa menjaring kerja sama berbagai pihak terkait lingkungan hidup,” ujar Dian.
Tidak cukup
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina, mengatakan, meskipun sudah banyak instrumen fiskal dan anggaran belanja yang dialokasikan untuk transformasi ekonomi hijau, APBN hanya bisa mencukupi 20-27 persen dari total pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen pengurangan 29 persen emisi di tahun 2030.
”Tantangannya adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan pendanaan alternatif dari sektor nonpublik atau swasta,” ujarnya.
Baca juga : Energi Terbarukan Terkendala Teknologi
Hasil survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan kepada delapan bank nasional menunjukkan penyaluran kredit hijau baru mencapai 2 persen sampai 3 persen dari total kredit. Padahal, jika aset kedelapan bank nasional itu digabung setara dengan 48 persen dari total aset seluruh perbankan di Indonesia.
Ternyata, lanjut Poppy, proyek hijau masih kerap dianggap memiliki risiko tinggi sehingga tidak menjadi preferensi dari lembaga keuangan. Di samping itu, pelaku lembaga jasa keuangan juga masih belum akrab dengan proyek-proyek hijau.
Poppy menambahkan, di sepanjang 2021 hampir 98 persen bencana alam yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim.
Hal ini, lanjutnya, membuat biaya risiko yang perlu dikeluarkan pemerintah akan terlalu tinggi jika tidak menjadikan sistem pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau sebagai arus utama dalam program pembangunan di Indonesia.
”Kajian Bappenas menyimpulkan Rp 115 triliun akan hilang jika tidak ada upaya yang cukup keras untuk menghijaukan perekonomian. Sekalipun ada ketergantungan di sektor ekstraktif, transformasi menuju ekonomi hijau harus tetap menjadi pilihan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menyampaikan transisi energi secara tepat waktu membutuhkan pembiayaan tidak hanya untuk menggenjot energi bersih, tetapi juga untuk menghentikan penggunaan energi kotor.
”Langkah kunci bagi Indonesia untuk dapat melakukan transisi energi secara tepat waktu adalah dengan memberikan pembiayaan pensiun dini untuk PLTU batubara,” ujarnya.