Wapres Amin: Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Masih Dalam Tahap Penggodokan
Di beberapa kesempatan pemerintah memberi sinyal rencana kenaikan harga BBM. Pengamat ekonomi menilai, rencana itu perlu dicermati. Jika inflasi terlampau tinggi, Indonesia bisa menyusul negara lain masuk fase stagflasi.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Sinyal tentang rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM terus bergulir. Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut bahwa pemerintah masih memikirkan terkait subsidi BBM yang sangat besar dan sedang menggodok tentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Pengamat meminta pemerintah benar-benar mencermati rencana kenaikan harga BBM, terutama pertalite.
”Masih dalam pembahasan, apakah akan dinaikkan atau tidak,” ujar Wapres Amin ketika menjawab pertanyaan Kompas tentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, dalam keterangan pers seusai menghadiri Milad Ke-16 Majelis Dzikir Riyadhul Jannah dan Haul Akbar di Masjid Syech Muhammad Yusuf, Margonda Raya, Depok, Sabtu (20/8/2022).
Wapres Amin menegaskan bahwa negara memberikan subsidi BBM dalam jumlah yang sangat besar. ”Mengenai kenaikan harga BBM. Itu, kan, ada beban subsidi negara besar sekali. Subsidi kita itu lebih dari Rp 500 triliun. Nah, jadi kalau ada kenaikan-kenaikan lagi, ini memang gimana kita supaya BBM bersubsidi ini bisa sustain, bisa terus berlanjut. Ini yang sedang dipikirkan, jadi masih dalam penggodokan,” ucapnya.
Menurut Wapres, pemerintah terus berupaya agar kondisi tetap berjalan baik. ”Tapi, bagaimana ini berjalan dengan baik. Jadi, APBN kita bisa menopang, tetapi juga tidak kemudian kita sampai tidak mampu memberikan subsidi. Dan, itu sudah ditetapkan sampai tahun 2023,” ucap Wapres Amin.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Majelis Dzikir Riyadhul Jannah di Depok tersebut, Wapres juga mengimbau agar umat Islam bersiap menghadapi krisis. Menurut Wapres, krisis energi dan krisis pangan yang akan terjadi di seluruh dunia ini akibat peperangan yang terjadi di Ukraina serta perubahan iklim.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu bersiap menghadapi krisis tersebut dengan melakukan jihad ekonomi. ”Untuk mempertahankan hidup kita. Karena menurut ulama, menjaga kehidupan, dengan menjaga (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, yang primer, maupun yang sekunder, dan juga tersier, itu termasuk tujuan besar dari syariat,” katanya.
Dihubungi terpisah pada Sabtu (20/8/2022), Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta agar kenaikan harga BBM jenis subsidi, terutama pertalite, benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. Pertimbangan tersebut terutama terkait apakah kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikan harga BBM. Apalagi, inflasi bahan pangan (volatile food) hampir menyentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022.
Agar kenaikan harga BBM jenis subsidi, terutama pertalite, benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah.
Daya beli turun
Masyarakat kelas menengah juga akan rentan terdampak. Mereka yang sebelumnya kuat membeli pertamax, sekarang bermigrasi ke pertalite. Apabila harga pertalite juga ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lainnya. ”Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin,” kata Bhima.
Menurut Bhima, imbasnya adalah permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu, dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar. Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi.
”Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam,” ucapnya.
Berdasarkan data APBN Kita, sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi baru mencapai Rp 88,7 triliun. Adapun kondisi APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB pada periode Juli. Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara.
”Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi,” tambahnya.
Bhima menambahkan bahwa pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar bersubsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar. Dengan menutup kebocoran solar, pemerintah bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis bersubsidi.
”Atur dulu kebocoran solar bersubsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite. Pemerintah juga bisa secara paralel pangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” kata Bhima.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bersama tujuh pemimpin lembaga tinggi negara juga telah membahas subsidi energi tahun ini yang disebut terlampau besar dan berpotensi membebani APBN. Dalam pertemuan yang berlangsung Jumat (12/8/2022) di Istana Negara, Jakarta, itu juga dibahas mengenai opsi mengurangi subsidi bahan bakar minyak sembari tetap menjaga daya beli masyarakat.
”Utamanya mengenai krisis global yang berkaitan dengan krisis pangan, krisis energi, dan juga krisis keuangan. Dan, kami berbagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan (masalah) domestik, baik yang berkaitan dengan pangan maupun berkaitan dengan energi,” kata Presiden kepada wartawan seusai pertemuan.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin lembaga tinggi negara, persoalan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terlampau besar juga dibahas. Tahun ini, subsidi BBM (bersama subsidi listrik dan elpiji) mencapai Rp 502 triliun.
”Cari saja negara yang subsidinya sampai Rp 502 triliun karena kita harus menahan harga pertalite, gas, listrik, termasuk pertamax, gede sekali. Tetapi, apakah angka Rp 502 triliun masih terus kuat kita pertahankan? Ya, kalau bisa, ya, alhamdulillah baik, artinya rakyat tidak terbebankan, tetapi kalau memang APBN tidak kuat, bagaimana,” ujar Presiden.