Di tengah kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti, kesadaran untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan memperkuat ketahanan industri pangan nasional dari hulu ke hilir kembali mengemuka.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
”Hati-hati yang banyak makan mi dari gandum, besok harganya naik tiga kali lipat”. Kalimat yang dilontarkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pekan lalu itu, sempat membuat heboh. Bagaimana tidak, bagi sebagian besar orang Indonesia, dengan harganya yang murah, rasa lezat, dan porsi mengenyangkan, mi instan ibarat makanan pokok kedua setelah nasi.
Kenyataannya, meski mulai mengalami kenaikan, harga mi instan tidak meroket sampai tiga kali lipat atau 300 persen. Menurut data Kementerian Perdagangan, berdasarkan pantauan harga di 216 pasar rakyat di 34 provinsi, harga mi instan naik 8,3 persen secara tahunan dari Rp 2.692 per kemasan pada Agustus 2021 menjadi Rp 2.916 per kemasan.
Lepas dari kehebohan yang dibuatnya, pernyataan menteri pertanian itu beranjak dari kekhawatiran yang nyata. Akhir-akhir ini, pasokan dan harga gandum dunia yang menjadi bahan baku untuk tepung terigu penghasil mi instan memang sedang terganggu akibat ketidakstabilan kondisi perekonomian global.
Dengan naiknya harga bahan baku, pelaku industri harus mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi, yang ujung-ujungnya akan berdampak pada naiknya harga produk jadi di tingkat konsumen. Badan Pusat Statistik mencatat, pada triwulan II-2022, inflasi harga produsen gabungan tiga sektor (pertanian, pertambangan, pengolahan) sudah menyentuh 11,77 persen, naik secara tahunan dari inflasi triwulan II-2021 sebesar 6,18 persen.
Cepat atau lambat, harga produk yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari akan terus naik. Apalagi, bukan hanya harga bahan baku yang naik, komponen biaya produksi lainnya, seperti harga bahan penolong, energi, dan logistik juga ikut mengalami kenaikan.
Memang kenaikan harga produk jadi di tengah meningkatnya biaya produksi tersebut sejauh ini masih bisa ditahan di tingkat produsen. Hal itu terlihat dari inflasi harga produsen yang jauh melampaui inflasi di tingkat konsumen yang pada Juli 2022 menyentuh 4,94 persen.
Meski demikian, cepat atau lambat, harga produk yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari akan terus naik. Apalagi, bukan hanya harga bahan baku yang naik, komponen biaya produksi lainnya, seperti harga bahan penolong, energi, dan logistik juga ikut mengalami kenaikan.
Ketergantungan
Di tengah kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti itu, kesadaran untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan menguatkan industri hulu dan antara di dalam negeri pun kembali mengemuka.
Imbauan agar pelaku industri memanfaatkan bahan baku lokal kembali gencar disuarakan, khususnya di sektor makanan dan minuman (mamin). Salah satunya, ajakan pemerintah agar industri pengguna tepung terigu, seperti pabrikan mi instan, bisa beralih menggunakan tepung sorgum, singkong, atau sagu yang diproduksi secara lokal.
Pemerintah bahkan berencana mewajibkan industri pengimpor gandum untuk menjadi offtaker yang menyerap produksi sorgum petani. Kewajiban menyerap sorgum akan dijadikan sejenis syarat untuk mendapatkan izin impor gandum. Sementara produksi sorgum akan ditingkatkan lewat pembukaan ratusan ribu hektar lahan untuk budidaya tanaman yang kaya akan karbohidrat itu.
Imbauan agar pelaku industri memanfaatkan bahan baku lokal kembali gencar disuarakan, khususnya di sektor makanan dan minuman.
Ketergantungan industri pengolahan dalam negeri terhadap bahan baku hasil impor memang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Januari-Juni 2022, impor bahan baku/penolong masih mendominasi struktur impor dengan nilai 90,09 juta dollar atau 77,55 persen dari total keseluruhan impor pada semester I-2022.
Di sektor mamin, ketergantungan pada bahan baku impor termasuk yang paling tinggi. Kementerian Perindustrian mencatat, sekitar 70 persen bahan baku industri mamin masih didatangkan dari luar meski Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya pangan berlimpah yang bisa diolah menjadi bahan baku dan penolong untuk keperluan industri.
Selain produk olahan gandum yang 100 persen bergantung pada bahan baku impor, ketergantungan tinggi juga terdapat di industri pengolahan susu yang selama ini menjadi penopang utama kinerja industri mamin. Sekitar 79 persen bahan baku susu masih diimpor, demikian pula gula rafinasi yang sekitar 60 persennya masih berasal dari impor.
Rantai industri
Melakukan substitusi impor dan diversifikasi bahan baku tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak faktor yang menentukan kesediaan produsen untuk melepas impor, seperti jaminan kualitas dan harga bahan baku lokal yang sesuai dengan spesifikasi industri, serta keberlanjutan pasokan untuk memenuhi kebutuhan industri.
Untuk itu, ekosistem rantai industri pangan dari hulu ke hilir harus diperkuat. Hal ini akan membutuhkan waktu dan upaya ekstra, mengingat pengembangan sektor hulu pangan selama ini kerap terlupakan, berbanding terbalik dengan pesatnya pertumbuhan industri mamin di hilir.
Industri makanan termasuk dalam lima besar investasi pada semester I tahun 2022 dengan nilai Rp 42 triliun dan 4.282 proyek. Namun, sebagian besar modal yang masuk bergerak di sektor hilir. Investasi di sektor hulu dan antara belum banyak tergarap, baik yang dikerjakan pelaku industri sendiri melalui investasi on farm dan pascapanen maupun yang melibatkan skema kemitraan inklusif dengan petani, peternak, dan nelayan lokal.
Pengembangan sektor hulu pangan selama ini kerap terlupakan, berbanding terbalik dengan pesatnya pertumbuhan industri mamin di hilir.
Rencana pemerintah membuat peta jalan strategis produksi dan hilirisasi sorgum sebagai substitusi gandum dapat menjadi langkah awal untuk menguatkan sektor hulu pangan. Hal serupa bisa diterapkan untuk komoditas lain yang saat ini masih lebih banyak dipasok lewat impor. Harapannya, program hilirisasi pangan dapat diseriusi sebagai kebijakan nasional, sebagaimana proyek hilirisasi tambang yang sedang gencar digenjot pemerintah.
Di sisi lain, pengembangan industri di sektor hulu demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir jangan sampai menjadi bentuk eksploitasi baru yang merugikan kelompok petani, peternak, dan nelayan lokal.
Skema penguatan sektor hulu melalui kemitraan antara petani dan korporasi harus bersifat adil, setara, dan inklusif, tanpa mengesampingkan kebutuhan serta posisi tawar petani. Petani lokal perlu dibekali dengan sarana produksi, jaminan asuransi tanam, serta dihubungkan dengan produsen yang akan berlaku sebagai offtaker.
Indonesia bisa belajar dari Jepang yang mampu menjamin kesejahteraan petaninya di tengah laju industrialisasi melalui kebijakan seperti reforma agraria, perlindungan harga di tingkat petani, serta sarana pengolahan pascapanen yang memadai. Kebijakan yang memuliakan petani itu membuat Jepang menjadi negara industri maju dengan rantai pasok pangan yang kuat.
Seperti kata orang, ada hikmah di balik musibah. Setelah bertahun-tahun bergantung pada negara lain, ketidakpastian ekonomi saat ini menyadarkan kita untuk kembali melihat ke dalam dan serius membangun ketahanan industri pangan nasional.
Semoga, ketika krisis-krisis lain muncul di masa depan, kita sudah lebih siap dan tak perlu sibuk berpolemik soal kenaikan harga sebungkus mi instan.