Kemampuan Fiskal Negara Diperkuat untuk Meredam Ketidakpastian
Konsolidasi fiskal akan ditempuh melalui kinerja belanja anggaran yang lebih efektif, efisien, serta menghasilkan efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2023 akan diarahkan untuk mengantisipasi tekanan inflasi global, terutama yang disebabkan oleh lonjakan harga energi dunia. Untuk itu, konsolidasi fiskal tahun depan akan didorong, salah satunya, melalui reformasi belanja negara dengan penyaluran subsidi lebih tepat sasaran.
Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo saat membacakan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Presiden mengatakan, asumsi dasar ekonomi makro untuk tahun 2023 telah menetapkan target inflasi tahun depan sekitar 3,3 persen. Asumsi inflasi pada level ini, lanjutnya, menggambarkan adanya pemulihan dari sisi permintaan yang ditopang perbaikan daya beli masyarakat.
”Desain belanja, pendapatan, dan pembiayaan dalam APBN 2023 akan fleksibel menyediakan ruang fiskal yang memadai untuk memiliki daya redam yang efektif untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian,” ujar Presiden.
Desain belanja, pendapatan, dan pembiayaan dalam APBN 2023 akan fleksibel menyediakan ruang fiskal yang memadai untuk memiliki daya redam yang efektif untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian.
Presiden menegaskan, arsitektur APBN 2023 harus mampu meredamkan keraguan, membangkitkan optimisme, serta mendukung capaian pembangunan dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap berbagai risiko global. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong konsolidasi fiskal sebagai bentuk komitmen menjaga keuangan negara tetap sehat.
Konsolidasi fiskal dari sisi penerimaan akan ditempuh melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan optimalisasi aset serta inovasi layanan. Dengan demikian, Presiden berharap rasio perpajakan akan meningkat sehingga memperluas ruang fiskal.
Sementara di sisi belanja, konsolidasi fiskal ditempuh melalui kinerja belanja anggaran yang lebih efektif, efisien, serta menghasilkan efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun inovasi pembiayaan akan dilakukan melalui penguatan peran lembaga pengelola investasi.
Belanja negara dalam APBN 2023 direncanakan sebesar Rp 3.041,7 triliun, termasuk di dalamnya anggaran untuk program perlindungan sosial sebesar Rp 479,1 triliun. Reformasi program perlindungan sosial akan diarahkan pada perbaikan basis data penerima bantuan sosial, subsidi tepat sasaran berbasis data penerima manfaat, serta penghapusan kemiskinan ekstrem.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi 2023 diupayakan sebesar 5,3 persen. Ekspansi produksi konsisten akan didorong untuk membuka lapangan kerja sebesar-besarnya. Investasi harus dipacu dan daya saing produk manufaktur di pasar global ditingkatkan.
Konsolidasi fiskal ditempuh melalui kinerja belanja anggaran yang lebih efektif, efisien, serta menghasilkan efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Dengan mencermati kebutuhan belanja negara dan optimalisasi penerimaan negara, defisit fiskal tahun 2023 direncanakan sebesar 2,85 persen terhadap PDB atau Rp 598,2 triliun,” kata Presiden.
Sebelumnya, saat menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2022, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah untuk menjaga stabilitas inflasi. Pasalnya, jika tidak dijaga dengan baik, inflasi bisa mengancam perekonomian nasional.
Pemerintah dan Bank Indonesia, lanjut Bambang, perlu memperhatikan hal-hal yang menjadi potensi krisis global. Pada sektor fiskal, tantangan yang harus dihadapi adalah normalisasi defisit anggaran, menjaga proporsi utang luar negeri terhadap produk domestik bruto, serta keberlanjutan pembiayaan infrastruktur.
”Dari segi moneter, tantangan terbesar adalah mengendalikan laju inflasi, menjaga cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya.
Lonjakan harga minyak dunia sejak awal April 2022 akan membuat rata-rata harga minyak tahun ini berada pada angka 98 dollar AS per barel. Angka tersebut jauh di atas asumsi APBN 2022 sebesar 63 dollar AS per barel. Sementara beban APBN untuk menanggung subsidi dan kompensasi energi sudah mencapai Rp 502 triliun.
Menurut Bambang, kenaikan harga minyak mentah dunia yang terlalu tinggi bakal menyulitkan upaya pemerintah untuk menambah anggaran subsidi terkait dengan upaya meredam tekanan inflasi pada paruh kedua tahun ini. ”Tidak ada negara yang memberikan subsidi sebesar itu,” ujarnya.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, APBN 2023 perlu mengantisipasi berbagai dinamika global, di antaranya konflik geopolitik, perkembangan kebijakan moneter global, serta perkembangan harga komoditas strategis. Berbagai dinamika tersebut, lanjutnya, dapat memengaruhi kebijakan fiskal, khususnya yang berkaitan dengan belanja negara.
Kenaikan harga minyak mentah dunia yang terlalu tinggi bakal menyulitkan upaya pemerintah untuk menambah anggaran subsidi.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, meski kebijakan subsidi pemerintah memang terbukti mampu menahan laju inflasi, besarnya beban subsidi dan kompensasi energi justru mempersempit ruang fiskal negara.
Piter mendukung rencana pemerintah untuk mengurangi beban APBN dan memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi agar lebih efektif dan efisien. Perbaikan mekanisme penyaluran subsidi menjadi lebih tepat sasaran ia yakini akan meringankan beban APBN.
”Untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme perbaikan penyaluran subsidi. Dengan begitu, beban APBN bisa berkurang tanpa harus menaikkan harga barang-barang subsidi. Laju inflasi pun tetap terjaga,” kata Piter.