JAKARTA, KOMPAS — Instrumen kas negara saat ini tengah diforsir sebagai bantalan untuk melindungi daya beli masyarakat dari lonjakan harga energi dunia. Pemerintah sebaiknya tetap cermat mengukur daya tahan fiskal dalam menahan beban stabilisasi harga energi di dalam negeri.
Di sisi lain, persoalan subsidi energi yang tidak sepenuhnya tepat sasaran dalam melindungi rumah tangga miskin dan rentan belum menemukan solusi konkret. Situasi ini membuat reformasi subsidi energi mendesak untuk dilakukan.
Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Yuventus Effendi, menyebut ongkos pengendalian harga energi semakin besar seiring lebarnya disparitas harga jual eceran dengan harga jual keekonomian produk BBM dan elpiji.
Dalam diskusi bertajuk ”Krisis Energi dan Dampaknya bagi Perekonomian Nasional”, Kamis (28/7/2022), Yuventus mengatakan, pasokan energi Indonesia sebagian besar didominasi oleh konsumsi energi dari sumber energi fosil seperti batubara, gas, dan minyak. Hal tersebut membuat Indonesia menjadi bergantung pada bahan bakar fosil dan rentan terhadap pasokan minyak dan gas impor serta perubahan harga.
Sejalan dengan tren inflasi yang terjadi pada produk energi dunia, upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga energi di dalam negeri agar tetap rendah, menurut dia, semakin lama akan semakin membebani instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun, terdiri dari subsidi BBM, elpiji, dan listrik sebesar Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp 275 triliun.
Padahal, lanjut Yuventus, dari sekitar 81 persen rumah tangga Indonesia yang menerima subsidi listrik, kebanyakan merupakan masyarakat golongan menengah ke atas. Ini jelas menunjukkan distribusi subsidi listrik tidak tepat sasaran.
Selain itu, pemberian subsidi melalui BBM jenis pertalite juga lebih banyak dinikmati oleh orang-orang menengah-atas dibandingkan orang golongan miskin. Kondisi ini merefleksikan bahwa Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah terkait subsidi energi yang belum tepat sasaran dan belum melindungi rumah tangga yang miskin.
”Langkah yang akan segera diambil oleh pemerintah adalah melakukan reformasi subsidi. Selain untuk membuat subsidi energi tepat sasaran, di periode harga energi global kembali normal, subsidi energi dapat direalokasikan ke pengeluaran yang lebih produktif,” ujar Yuventus.
Dampak pencabutan
Sementara itu, Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengestimasi pencabutan subsidi energi akan mengontraksi pertumbuhan ekonomi. Selain berdampak pada penurunan konsumsi masyarakat, kinerja investasi pun disinyalir akan terdampak.
”Dengan adanya kenaikan harga, konsumsi masyarakat juga akan turun dan kinerja investasi akan terdampak. Kalau memang pencabutan subsidi energi tidak dibarengi kebijakan-kebijakan antisipatif, maka inflasi juga akan naik, ekspor juga akan negatif, dan volume impor akan positif,” kata Rizal.
Namun, di sisi lain, kapasitas fiskal Indonesia sebagai peredam kejut dinilainya juga memiliki keterbatasan dalam menyerap tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi di tengah upaya mengakselerasi konsolidasi fiskal yang salah satu targetnya berupa defisit fiskal di bawah 3 persen PDB pada 2023.
Dengan mempertimbangkan kapasitas APBN serta masih tingginya risiko ekonomi global ke depan, lanjut Rizal, pada akhirnya pemerintah mulai mewanti-wanti publik bahwa apabila APBN telah menyentuh batas kemampuannya, bukan tidak mungkin akan ada penyesuaian harga BBM.
”Mengingat kebijakan APBN mulai tahun 2023 memasuki fase konsolidasi dengan defisit fiskal wajib kembali di bawah 3 persen terhadap PDB, pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan antisipatif yang dapat meredam dampak inflasi energi,” ujarnya.
Baca juga: Mengawal Subsidi di Tengah Kerentanan Ketahanan Energi
Biaya kompensasi
Kementerian Keuangan mencatat pembayaran kompensasi listrik dan penyaluran BBM mencapai Rp 104,8 triliun hingga semester I-2022. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, dengan pembayaran utang kompensasi tahun lalu, pemerintah sudah tidak memiliki utang kepada BUMN.
”Pemerintah akan tetap melakukan audit terhadap utang kompensasi yang telah dibayarkan. Kewajiban pemerintah ke badan usaha untuk kompensasi penjualan BBM dengan harga tertentu sampai 2021 sudah lunas,” ujarnya.
Lebih lanjut, pada sisa tahun ini, Isa belum bisa memastikan apakah pemerintah akan kembali memiliki utang kompensasi kepada Pertamina ataupun PLN. Namun, apabila ada kenaikan biaya kompensasi, pemerintah akan membayar pada tahun depan.