Jaring Tarik Berkantong Disorot Diminta Dievaluasi
Pelanggaran kapal ikan dalam negeri dan kapal asing ilegal masih terus berlangsung. Di antaranya kapal jaring tarik berkantong yang diduga melakukan manipulasi untuk pemanfaatan kembali cantrang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengevaluasi penggunaan alat tangkap jaring tarik berkantong sebagai pengganti cantrang yang dilarang. Alat tangkap jaring tarik berkantong dinilai berpotensi merusak sumber daya ikan dan terus menyulut konflik horizontal.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merekomendasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengeluarkan moratorium terhadap perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal jaring tarik berkantong.
Program Manager IOJI, Jeremia Humolong Prasetya, mengemukakan, pihaknya mendeteksi antara lain pelanggaran oleh kapal-kapal berukuran lebih dari 30 gros ton (GT) dengan alat tangkap jaring tarik berkantong di Laut Natuna Utara, di antaranya pelanggaran jalur penangkapan. Operasionalisasi alat tangkap itu juga ditenggarai menyerupai cantrang.
”Kami merekomendasikan pemerintah agar melakukan moratorium perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal jaring tarik berkantong,” ujar Jeremia dalam Diskusi Keamanan Maritim: Ilegal Fishing di Indonesia, Maret-Juni 2022,” Kamis (11/8/2022).
Kapal-kapal jaring tarik berkantong berukuran besar diduga melanggar jalur penangkapan, yakni beroperasi di bawah 12 mil laut (22 kilometer) dari bibir pantai (Jalur II) Pulau Subi di Natuna. Padahal, kapal-kapal di atas 30 GT dengan alat tangkap jaring tarik berkantong tidak diizinkan untuk beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) NRI 711 di bawah 30 mil (55,56 km) dari bibir pantai. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan,
Selain itu, penggunaan jaring tarik berkantong juga dinilai tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan sumber daya ikan. Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan penggunaan jaring tarik berkantong, serta melakukan kajian ilmiah terkait dampak terhadap aspek kesehatan laut, pola kepemilikan, dan potensi konflik horizontal.
Baca juga: Aturan Larangan Cantrang Dinilai Tidak Efektif
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengungkapkan, nelayan Natuna sangat terganggu dengan kehadiran kapal-kapal jaring tarik berkantong yang dalam praktiknya masih menggunakan alat tangkap cantrang yang dilarang, serta melanggar jalur penangkapan ikan. Muncul indikasi, jaring tarik berkantong dipakai sebagai alat manipulasi pemakaian cantrang.
Jaring tarik berkantong kerap ditempatkan sebagai alat tangkap fiktif di kapal untuk mengecoh aparat pengawasan. ”Faktanya, kapal-kapal jaring tarik berkantong tetap menggunakan alat tangkap cantrang untuk menangkap ikan,” katanya.
Upaya pemerintah memobilisasi kapal-kapal ikan dari luar Natuna untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan di Laut Natuna Utara jangan sampai memicu penangkapan ikan yang merusak. Selama puluhan tahun, nelayan lokal tidak ada masalah dengan kehadiran kapal-kapal purse seine dari Jawa yang beroperasi di Laut Natuna Utara. Sebaliknya, merebaknya kapal cantrang di Laut Natuna Utara yang tujuan awalnya menghadapi kapal asing justru memicu masalah baru. Kapal-kapal cantrang yang kini berkedok jaring tarik berkantong bahkan dioperasikan di perairan di bawah 30 mil yang menjadi zona tangkapan nelayan lokal sehingga memicu konflik horizontal.
”Kami memahami upaya pemerintah memanfaatkan Laut Natuna Utara, tetapi tolong diperhatikan juga kepentingan nelayan lokal Natuna. Kehadiran kapal-kapal cantrang ini sangat mengganggu nelayan lokal. Kapal-kapal silakan masuk Laut Natuna Utara, tetapi gunakan alat tangkap yang lebih bersahabat,” ujar Hendri.
Ia menambahkan, selama ini nelayan Natuna yang berperan paling besar dalam melaporkan masuknya kapal-kapal ikan asing ilegal. Kapal-kapal nelayan lokal mampu berlayar sampai radius 180 mil (333 km) dari bibir pantai dan menyaksikan kehadiran kapal-kapal asing. ”Seharusnya, pemerintah mendorong program pemberdayaan dan memfasilitasi armada nelayan lokal Natuna sebagai garda terdepan perbatasan di Laut Natuna Utara,” ujanya.
Baca juga: Temukan Kapal Ikan dengan Cantrang, Nelayan Natuna Minta Pemerintah Tegas
Perikanan ilegal
Selama Maret hingga Juni 2022, kegiatan penangkapan ikan ilegal oleh kapal ikan asing (KIA) dan kapal ikan Indonesia (KII) masih marak di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Papu Niugini yang berbatasan langsung dengan WPP 718 Laut Arafura.
Berdasarkan pengamatan citra satelit, IOJI mencatat sebanyak 60 kapal ikan berbendera Vietnam beroperasi di Laut Natuna Utara ZEE Indonesia nonsengketa, yakni pada koordinat 106.2 bujur timur (BT) hingga 109.1 BT dan 5.3 lintang utara (LU) hingga 6.2 LU. Pola operasi KIA Vietnam di ZEE Indonesia nonsengketa itu, yakni dua kapal berlayar ke arah yang sama secara beriringan dengan jarak antarkapal antara 300 meter dan 400 meter.
”Pola ini merupakan ciri khas kapal ikan dengan alat tangkap trawl ganda. Penggunaan pair trawl oleh KIA Vietnam berdampak pada kerusakan karang sebagai habitat ikan,” ujar Jeremi.
Selain itu, IOJI juga mendeteksi 4 (empat) kapal patroli pengawas perikanan Vietnam yang berpatroli di sekitar garis batas Landas Kontinen RI-Vietnam, yaitu Kiem Ngu 216 (KN216), Kiem Ngu 220 (KN220), Kiem Ngu 268 (KN268), dan Kiem Ngu 204 (KN204). Keempat kapal itu beberapa kali keluar masuk zona nonsengketa sejauh 7-10 mil laut dari garis batas landas kontinen, tak jauh dari lokasi intrusi KIA Vietnam di ZEE Indonesia. Pola operasi ini juga berlangsung sepanjang tahun 2021.
Baca juga: Kapal Ikan Asing Ilegal Masih Marak Beroperasi
Perwira Pembantu ll Staf Operasi Angkatan Laut TNI Angkatan Laut Kolonel Laut (P) Amrin Rosihan mengungkapkan, banyak KIA berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara yang tidak menggunakan sistem identifikasi otomatis (AIS). Jumlah patroli pengawas perikanan Vietnam ditaksir setidaknya ada empat kapal per hari. Mereka disinyalir mampu berada di sana sepanjang tahun karena memiliki sistem logistik yang sangat baik, dari segi perbekalan ataupun bahan bakar.
Staf Pengajar di Universitas Pertahanan, Laksamana Madya (Purn) Widodo, mengemukakan, negara membutuhkan kehadiran nelayan di laut yang masih minim pemanfaatan. Masalah pelanggaran kapal perikanan di perairan perbatasan merupakan masalah kompleks, dan terjadi tidak hanya di Laut Natuna Utara, tetapi juga di Laut Arafura dan Laut Sulawesi.
Widodo menilai, Indonesia mempunyai hak berdaulat sehingga tidak perlu ragu untuk menegakkan hak kedaulatan yang dilindungi oleh hukum nasional dan hukum internasional. Penegakan hukum di laut sangat penting untuk diimplementasikan dan membutuhkan sinergi di antara semua pemangku kepentingan. ”Sinergitas diperlukan untuk menimbulkan efek gentar dari pengganggu yang masuk ke wilayah kita,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 56 UNCLOS, Indonesia memiliki hak berdaulat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati dan nonhayati di ZEE Indonesia. Negara lain tidak dapat ikut menikmati sumber daya tanpa izin Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliiki kewajiban utama untuk menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE Indonesia, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana.