Ketua Komisi VII DPR bakal mengusahakan RUU Energi Baru dan Terbarukan rampung dan disahkan dalam 1,5 bulan ke depan. Dalam waktu dekat, daftar inventarisasi masalah dari pemerintah akan diharmonisasikan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan atau EBT ditargetkan dapat diselesaikan sekitar 1,5 bulan sehingga diharapkan Indonesia telah memiliki UU EBT pada G20 Summit, November 2022. Pengembangan energi terbarukan dinilai menjadi keharusan meskipun saat ini tingkat ketergantungan pada energi fosil masih tinggi.
Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Sugeng Suparwoto, dalam diskusi kelompok terarah (FGD) Kemerdekaan Energi di Tengah Krisis Global yang digelar Indopos.co.id secara virtual, Kamis (11/8/2022), mengatakan, menjadikan RUU EBT prioritas tidaklah mudah. Pasalnya, DPR merupakan forum politik sehingga tak akan lepas dari suasana politik.
Pada Juni 2022, Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU itu, sebagai usulan legislatif. ”Paling akhir 27 (Agustus) ini pemerintah menjawab dengan surat presiden (supres) dan kementerian/lembaga ikut membahas. Kami akan kerja keras untuk harmonisasi antara DIM (daftar inventarisasi masalah) dari pemerintah dengan konsep yang sudah kami susun,” ujarnya.
Setelah dijawab pemerintah, Komisi VII DPR pun akan membentuk panitia kerja (panja) RUU yang akan bernama RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Dalam 1,5 bulan, pihaknya berupaya optimal agar tuntas sehingga diharapkan pada G20 Summit, November 2022, Indonesia sudah memiliki undang-undangnya, mengingat transisi energi berkelanjutan ialah satu dari tiga isu utama dalam G20 Presidensi Indonesia, tahun ini.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menuturkan, pihaknya sudah menerima RUU EBT dari DPR dan akan menyampaikan kembali DIM dua pekan ke depan. ”Per tadi (Rabu 10/8) malam, sudah ada 543 item, yang nantinya akan kita bahas bersama,” ujar Dadan.
UU EBT, imbuh Dadan, akan memiliki beragam fungsi. Pertama adalah undang-undang payung, terkait bauran energi. Kedua yakni menjadi undang-undang sektor, khususnya energi terbarukan. Ketiga, akan diusulkan sebagai lex specialis (bersifat khusus), misalnya terkait penggunaan sumber daya air untuk pengembangan EBT yang per saat ini dilarang berdasarkan UU Sumber Daya Air, untuk kawasan konservasi.
Pihaknya juga sedang pada tahapan akhir merampungkan Peraturan Presiden terkait EBT. ”Mudah-mudahan bulan ini atau bulan depan selesai. Ini upaya dari pemerintah untuk memastikan iklim investasi yang lebih kondusif. Pemerintah, PLN sebagai offtaker, konsumen, dan produsen EBT dapat keekonomian yang sama bagusnya,” ucap Dadan.
Dadan menambahkan, berbicara ketahanan energi, yang utama ialah tersedia dulu energinya. Di sisi lain, energi terbarukan, saat ini, bukanlah pilihan. Adapun energi fosil saat ini mengantarkan untuk mencapai tujuan itu.
”Aspek yang dimiliki Indonesia terkait energi terbarukan, antara lain, potensi yang lebih dari cukup, juga keragamannya. Untuk energi surya, kita punya PLTS atap. Energi panas bumi, seperti di Kamojang, terbukti berkelanjutan. Begitu dengan tenaga hidro, yang sudah sejak 150 tahun lalu digunakan,” kata Dadan.
Sugeng menuturkan, energi terbarukan saat ini mendesak dan sangat penting di tengah berbagai problem mengenai energi fosil. Saat ini, porsi energi fosil memang sangat besar, tetapi ke depan diharapkan bakal terus ditekan guna mengurangi ketergantungan. Ia mencontohkan, cadangan minyak bumi lifting di Indonesia tinggal 2,5 miliar barel.
Adapun produksi terus menurun dan kini sekitar 604.000 barel per hari. ”Dengan produksi sedemikian, cadangan minyak kita tinggal sekitar 10 tahun kalau tak ada temuan-temuan baru. Kenapa? Karena reservoir atau cadangan-cadangan minyak kita sudah dalam kategori tua. Untuk bisa merdeka energi, mau tak mau harus segera masuk ke energi terbarukan,” ucapnya.
Ia menambahkan, peta jalan mengenai bauran energi sudahlah tepat. Transisi energi pun tak serta-merta menghentikan eksplorasi energi fosil, tetapi terus menekan emisinya. Misalnya, pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) digunakan teknologi ultra supercritical yang lebih ramah lingkungan. Sementara pada migas diarahkan juga industri petrokimia.
”Indonesia bisa merdeka energi kalau bisa memenuhi bauran energi secara paripurna, dengan pemanfaatan energi terbarukan. Bahkan, energi nuklir juga sudah harus kita rancang. Sebab, target net zero emission pada 2060 muskil tanpa nuklir,” kata Sugeng.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, kunci dari pengembangan energi terbarukan ialah aspek keekonomian. Menurut dia, keekonomian proyek akan menentukan dan juga menjadi daya tarik bagi investor untuk mengembangkan energi terbarukan.
Di sisi lain, kata Komaidi, kita memang tak bisa serta-merta meninggalkan energi fosil begitu saja. Gas, yang notabene energi fosil, akan menjadi jembatan menuju ke arah energi terbarukan, karena tingkat karbonnya lebih rendah dari yang lain.
”Energi terbarukan ini keniscayaan, tetapi risiko ekonomi, fiskal, moneter, termasuk penyerapan tenaga kerja, harus diperhatikan. Harus melihatnya secara bijaksana dan jangan satu sudut pandang. Kalau melihat ekonomi makro nasional, perlu kebijaksanaan dalam berbagai aspek dalam pengembangan energi terbarukan ini,” papar Komaidi.