Kompetisi dengan Fosil Menjadi Tantangan Bisnis Energi Bersih
Peluang Indonesia sdalam penyediaan energi bersih sangat besar, karena potensi yang sangat beragam, seperti tenaga air, angin, surya, dan panas bumi. Namun, terdapat sejumlah tantangan untuk kemenarikan bisnis.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 Megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
JAKARTA, KOMPAS — Badan usaha milik negara atau BUMN, termasuk PT Pertamina (Persero), terus berupaya mengembangkan bisnis ke arah transisi energi. Namun, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam transisi menuju energi yang lebih bersih tersebut, salah satunya kompetisi dengan energi fosil.
Vice President Business Planning and Portfolio PT Pertamina Power Indonesia (PPI) Fuadi Arif Nasution dalam webinar ”Mereguk Peluang Bisnis Transisi Energi Bersih”, Rabu (3/8/2022), mengatakan, kompetisi itu, antara lain, terkait dengan harga komoditas dan keandalan. Kompetisi ini dalam konteks pemanfaatan energi untuk sektor kelistrikan dan transportasi.
”Kompetisi ini masih menjadi salah satu tantangan (dalam transisi energi) karena fosil masih relatif lebih murah (dibandingkan dengan sumber- sumber energi terbarukan) meskipun sekarang harga batubara dan minyak mentah juga sedang tinggi,” ujar Fuadi.
Kendati dihadapkan sejumlah tantangan, Pertamina telah membentuk kluster investasi dalam pengembangan energi terbarukan. Itu terdiri dari panas bumi, hidrogen, Battery Energy Storage System (BESS), solar-wind-hydro, dan ekosistem kendaraan listrik. Selain itu, yakni naturebased solutions (NBS), Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS), dan bioenergi.
Saat ini, lanjut Fuadi, Pertamina New Renewable Energi telah mengoperasikan 2.742 megawatt (MW) kapasitas terpasang. Itu terdiri dari panas bumi sebesar 672,5 MW; gas-to-power 1.775 MW; tenaga surya 71,34 MW; dan biomassa 4,4 MW. ”Jadi, bisnis eksplorasi minyak dan gas ini tetap, tetapi diseimbangkan dengan penyediaan energi bersih,” ucap Fuadi.
Selain Pertamina, BUMN lain yang juga mengembangkan bisnis ke arah transisi energi adalah PT Bukit Asam Tbk. Vice President Energy Development Bukit Asam Zulismi mengatakan, bisnis utama perseroan memang batubara. Namun, pihaknya juga mengembangkan energi bersih. Upaya yang dilakukan salah satunya adalah pengembangan infrastruktur transportasi rantai pasok batubara dari sebelumnya konvensional menjadi listrik.
”Kami juga sudah memiliki beberapa pembangkit, tetapi yang berbasis energi terbarukan memang masih sangat kecil dibandingkan yang batubara. Selain itu, gasifikasi batubara juga sudah dimulai,” kata Zulismi.
Dalam proyek gasifikasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, nantinya bakal menyerap 6 juta ton batubara per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton dimetil eter (DME) per tahun. DME diandalkan sebagai substitusi dari impor elpiji.
RHAMA PURNA JATI
Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur Sumsel Herman Deru (Kiri) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (Kanan) meninjau tempat pembangunan proyek gasifikasi batubara di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Proyek ini ditargetkan selesai sampai 30 bulan ke depan. Konversi diharapkan dapat mengurangi biaya impor LPG yang sangat membebankan APBN.
Zulismi menuturkan, tantangan dalam pengembangan energi terbarukan ialah pengeluaran modal yang lebih besar dibandingkan fosil. ”Juga fluktuasi dan ketidaksinambungan dari energi yang dihasilkan. Juga bagaimana distribusi agar dapat berkembang lebih cepat dibandingkan saat ini,” ujarnya.
Holistik
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, peluang Indonesia sangatlah besar dalam penyediaan energi bersih. Pasalnya, potensi yang ada sangat beragam, seperti tenaga air, angin, surya, dan panas bumi. Energi ini nantinya akan berfungsi menjadi pelengkap, bukan pengganti.
”Biayanya mahal (pengembangan energi bersih), betul. Tetapi, harus diperhitungkan, misalnya panas bumi dapat dikembangkan dan menghasilkan produksi listrik dalam jumlah tertentu, negara akan menghemat devisa. Jadi, harus dilihat holistik dan dari banyak aspek, termasuk soal manfaat ekonomi dan multplyer effect (dampak ikutan)-nya,” katanya.
Menurut Komaidi, energi panas bumi menjadi jenis energi terbarukan yang dapat dikembangkan lebih optimal untuk menggantikan energi fosil. Selain dari manfaat ekonomi, juga terkait dengan ketahanan energi. Saat ini, dari 25 gigawatt (GW) potensi panas bumi, baru 2,1 GW yang sudah terpasang atau termanfaatkan.