Upaya dan kebijakan pemerintah tidak cukup hanya dengan melipatgandakan luas area tanam serta meningkatkan produktivitas sorgum, tetapi juga menciptakan pasar dan memastikan tingkat keterserapan sorgum di masa depan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi tanaman sorgum
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah saat ini tengah menyusun peta jalan untuk meningkatkan produksi dan hilirisasi komoditas pertanian sorgum sebagai produk substitusi gandum guna memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kebijakan yang tengah dimatangkan pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada peningkatan produktivitas sorgum, namun juga penciptaan pasar yang mampu menyerap komoditas ini.
Dalam diskusi ekonomi berdikari bertema ”Antisipasi Indonesia terhadap Potensi Krisis Global” yang diselenggarakan harian Kompas, akhir pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kelangkaan komoditas gandum di pasar global membuat Pemerintah Indonesia melirik sorgum sebagai komoditas substitusi gandum.
Airlangga menjelaskan, sejumlah negara eksportir gandum saat ini tengah menghentikan ekspor untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri mereka, di antaranya Kazakhstan, Kirgizstan, India, Afghanistan, Algeria, Kosovo, Serbia dan Ukraina. Lama rencana dari negara-negara ini dalam menghentikan ekspor gandum beragam, sebagian menghentikan hingga 30 September 2022, sebagian lainnya hingga 31 Desember 2022.
Sejumlah negara eksportir gandum saat ini tengah menghentikan ekspor untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri mereka,
”Situasi ini membuat kita harus mengembangkan tanaman pengganti ataupun substitusi dari gandum. Indonesia tentu punya beberapa alternatif selain sorgum, itu bisa juga dari tanaman sagu, singkong. Arahan Bapak Presiden seluruhnya perlu dipersiapkan agar kita punya substitusi dan diversifikasi dari produk gandum dengan sorgum,” kata Airlangga.
Ia menuturkan hingga Juli tahun ini, sudah ada sekitar 4.355 hektar lahan yang ditanami sorgum yang tersebar di enam provinsi, dengan jumlah produksi mencapai 15.243 ton atau 3,63 ton per hektar.
Pemerintah menargetkan pada tahun ini setidaknya terdapat 15.000 hektar lahan yang sudah ditanami sorgum. Kabupaten Waingapu di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi wilayah prioritas pengembangan sorgum. Adapun pada tahun 2023 dipersiapkan lahan sejumlah 115.000 hektar dan di tahun 2024 sebesar 154.000 hektar.
Airlangga juga menyampaikan bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional diharapkan dapat terus mengembangkan varietas sorgum. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bertugas mempersiapkan kebutuhan air dalam bentuk irigasi ataupun embung di wilayah klaster pertama yang dicoba, yakni di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
”Dalam kluster pertama tersebut diharapkan dalam 100 hari bisa dievaluasi karena tanaman ini adalah tanaman yang sifatnya 3 bulanan,” kata Airlangga.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sekaligus anggota Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori, saat dihubungi Minggu (7/8/2022), menilai momentum keterbatasan pasokan impor bahan pangan karena gangguan rantai pasok global memang harus dimanfaatkan Indonesia untuk pengembangan komoditas pangan yang selama ini terpinggirkan, termasuk sorgum.
Namun, lanjutnya, upaya dan kebijakan pemerintah tidak cukup hanya dengan melipatgandakan luas area tanam serta meningkatkan produktivitas dari sorgum, tetapi juga menciptakan pasar dan memastikan tingkat keterserapan sorgum baik di pasar domestik ataupun luar negeri agar harga komoditas ini tidak jatuh sewaktu-waktu.
AGUS SUPARTO
Ilustrasi sorgum
”Suatu ketika saat pasokan gandum global sudah kembali normal, produksi sorgum di dalam negeri yang sudah melimpah jangan sampai sia-sia, sehingga kebijakan pangan terkait sorgum jangan hanya berhenti hingga tahun 2024,” ujarnya.
Khudori menilai, produksi sorgum relatif masih terbatas. Sesuai arahan Presiden Jokowi, peta jalan pengembangan sorgum ini harus diintegrasikan dengan peternakan sapi. Sebab, batang tanaman sorgum bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak maupun bioetanol. Fungsi sorgum tersebut dapat menyubstitusi kebutuhan komoditas jagung yang selalu meningkat.
”Sebagai sumber pangan, sorgum juga mengandung berbagai nutrisi baik. Kandungan protein dan kalsium pada sorgum bahkan lebih tinggi daripada beras,” ujar Khudori.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Ekonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Mulyadi Jayabaya menilai langkah pemerintah dalam menetapkan sorgum sebagai alternatif komuditas gandum memang perlu dilakukan. Meski begitu, dibutuhkan proses transisi dan adaptasi yang tidak mudah terutama sosialisasi kepada masyarakat terkait substitusi ini.
”Beberapa produk turunan gandum tertentu ada yang bisa diganti ke sorgum atau mungkin juga blended. Jadi, tidak semua yang gandum itu diganti sorgum karena itu tidak mudah,” ujarnya.
Substitusi dari gandum ke sorgum ini merupakan upaya jangka menengah dan panjang yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor gandum.
Berdasarkan pengamatannya, banyak produsen yang mulai berinovasi membuat produk yang awalnya hanya bisa dibuat dari gandum kemudian diganti dengan menggunakan bahan lain, salah satunya adalah mie instan yang terbuat dari sayuran. Karena itu, substitusi dari gandum ke sorgum ini merupakan upaya jangka menengah dan panjang yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor gandum.
”Jadi, semua pihak baik itu produsen maupun konsumen harus bisa menyesuaikan, harus bisa melakukan adaptasi karena peta jalan untuk sorgum tidak mungkin hanya untuk jangka pendek, tapi untuk jangka menengah panjang,” kata Mulyadi.